Mohon tunggu...
Putianing Widodo
Putianing Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Penulis : Putianing Widodo, Jihan Prisar Tsabitha, Robiana Modjo Mahasiswa Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menghirup Bahaya: Polusi Udara dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

29 November 2023   10:24 Diperbarui: 6 Desember 2023   10:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by rawpixel.com on Freepik

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 90% atau sekitar sembilan dari sepuluh orang dari populasi mengalami paparan udara yang tercemar. Selain itu, WHO juga mengestimasi bahwa setiap tahunnya, sekitar 7 juta nyawa manusia hilang karena dampak partikel dalam udara yang tercemar. Partikel ini dapat masuk ke dalam paru-paru dan sistem kardiovaskular yang menyebabkan berbagai penyakit serius seperti stroke, gangguan jantung, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan, termasuk pneumonia. Banyak penelitian telah mengindikasikan bahwa polusi udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan, tetapi masih  sedikit yang menjelaskan keterkaitan antara polusi udara dan kesehatan mental.

Pencemaran udara adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan neuropatologi dan beragam gangguan di dalam sistem saraf pusat. Sel-sel otak yang paling rentan terhadap dampak polusi udara adalah mikroglia dan sel endotel kapiler otak. Polutan udara yang memiliki risiko tinggi memicu peradangan neurologis dan stres oksidatif adalah paparan PM2,5. Peradangan neurologis tersebut dapat mengakibatkan gejala kesehatan mental, yaitu perubahan kehidupan, isolasi sosial, dan perundungan. 

Hubungan Polusi dengan Kesehatan Mental
Dilansir dari jurnal PLOS Biology tahun 2019, para peneliti menganalisis hubungan polusi udara dengan gangguan kesehatan mental. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data 151 juta individu di Amerika Serikat dan 1,4 juta individu di Denmark dengan berfokus pada empat jenis gangguan kesehatan mental, yaitu gangguan bipolar, gangguan depresi berat, gangguan kepribadian (seperti gangguan perilaku), dan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan polusi udara dalam jangka panjang, terutama di perkotaan besar, dapat meningkatkan sekitar 17% dalam kasus gangguan bipolar. Sementara, untuk gangguan depresi berat mengalami peningkatan kasus sebesar 6% dan gangguan kepribadian mengalami peningkatan kasus hampir 20%. Hal ini dikarenakan sumber polutan yang dihasilkan di perkotaan besar meliputi karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur oksida, hidrokarbon, PM, dan sebagainya. Karbon monoksida utamanya berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor, sedangkan hidrokarbon merupakan emisi yang berasal dari beragam jenis mesin. 

Temuan Studi 
Dalam penelitian lainnya, berdasarkan laporan data yang dirilis di Tiongkok tahun 2018, setiap peningkatan sebesar satu standar deviasi rata-rata konsentrasi PM2,5 diketahui dapat meningkatkan risiko depresi sebesar 6,67%. Hal tersebut berkontribusi dengan biaya pengobatan tahunan sekitar $22,88 miliar. Penelitian oleh Mohan Kumar dan rekannya mengindikasikan bahwa polutan udara dapat menyebabkan peradangan dan stres oksidatif di otak yang mungkin memicu gejala depresi. Temuan oleh Vert dan timnya juga menunjukkan bahwa tingkat depresi memiliki risiko dua kali lipat dengan setiap peningkatan sebesar 10 g/m3 dalam kadar oksida nitrat. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Szyszkowicz dan rekan-rekannya mencatat bahwa terdapat peningkatan risiko kunjungan ke unit gawat darurat sekitar 7,2% akibat depresi ketika konsentrasi PM10 mencapai 19,4 g/m3.

Saran 
Berdasarkan hasil penelitian tersebut atau literature review menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara dan kesehatan mental. Hal ini mempunyai implikasi penting karena sebagian besar penduduk dunia tinggal di wilayah yang polusi udaranya cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan agar terhindar dari polusi udara, misalnya dilakukan penegakan regulasi dan perubahan perilaku. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menciptakan ruang terbuka hijau di lingkungan sekitar rumah, menghindari berolahraga di dekat jalan raya yang ramai, meningkatkan ventilasi di rumah, dan menggunakan kompor yang rendah emisi.

Penulis : Putianing Widodo, Jihan Prisar Tsabitha, Robiana Modjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun