Mohon tunggu...
Puti Diyaz
Puti Diyaz Mohon Tunggu... -

Insan biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sepenggal Kisah Generasi yang Hilang

5 Maret 2010   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini orang – orang sibuk memperbincangkan masalah century. Dimana – mana yang di bicarakan adalah century dan sikap KPK dalam menyikapi masalah ini. Tapi tanpa sadar ada yang terlupakan oleh kita. Dan itu butuh perhatian penuh dari kita. Generasi penerus yang terlupakan, mereka terlantar dan dibiarkan tertatih – tatih dengan pilihan hidup yang mereka sendiri tidak menginginkan. Tapi apa daya mereka tidak punya kuasa untuk melawan seperti kuasa pemimpin yang bisa melawan bahkan memutar balikkan fakta untuk menyelamatkan citra diri. Mereka hanya butuh hati nurani kita. Hati nurani yang bisa melihat derita mereka, hati nurani yang bisa membimbing mereka menjadi genarasi berguna dan berharga. Bukan generasi sampah yang selalu di tatap dengan pandangan mata penuh curiga dan hinaan. Mereka anak – anak gelandangan yang menjadikan langit sebagai atap rumah mereka dan bumi sebagai lantainya seperti lagu Rhoma irama. Di bawah kolong jembatan mereka tidur berserakan ,hanya baju dibadan sebagai penahan dari dinginnya angin malam. Satu yang menarik perhatian saya, adalah seorang anak kecil kira – kira berumur 8 atau 9 tahun selalu tidur di trotoar di bawah lampu traffic jalan. Dia tidur dengan nyenyaknya tanpa merasa terusik akan bisingnya kendaraan yang lalu lalang di lampu merah itu. Tak sekalipun dia tersedak atau sesak nafas disaat asap – asap dari kendaraan yang mengandung CO dan Pb terhirup olehnya. saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi paru –parunya akibat Pb dan darahnya yang sudah terkontaminasi oleh CO Apa dia tidak merasakan pusing karena Hbnya sudah di ikat oleh CO, apalagi ada satu kendaraan bermotor yang knalpotnya mengeluarkan asap nyaris pas di wajah anak itu. Dari sekian orang – orang yang berhenti di lampu merah tak satupun yang berusaha membangunkan si anak tersebut, termasuk saya. Ada yang bersikap acuh alias cuek, ada yang bersikap kasihan dan ada yang cuma memandang sekilas. Termasuk saya yang hanya bisa kasihan. Tapi apapun itu sikap orang –orang saat itu dan saya, sama saja tidak akan menolong sang bocah. Sikap kami yang berhenti di lampu merah itu adalah sikap pengecut. Bukankah bocah itu salah satu generasi penerus, yang mungkin saja di dalam jiwanya ada sikap kepemimpinan yang arif dan bijak. Yang bisa memimpin Negara ini dengan baik. Dengan sikap diam kita bukankah sama dengan mendorong meraka ke dalam dendam pada negeri ini. Mereka merasa dikucilkan dan tidak diterima. Setelah mereka dewasa rasa ini akan berkembang menjadi keinginan membangkang dan memberontak. Bukankah sikap mereka ini akan menjadi beban di masyarakat dan Negara. Disaat ini terjadi jangan salahkan mereka, pilihan hidup yang diberikan pada mereka membuat mereka terpuruk dan tertatih – tatih dalam mencapai kedewasaan diri. Mari kita lihat hati nurani kita dan mencoba bersikap bijak. Mari kita mulai peduli dan rangkul mereka. Mari …. Mari… mari kita bantu mereka. Bantu mereka bukan dengan memberi uang tapi bantulah mereka dengan MORAL dan PENDIDIKAN. Ini hanya sepenggal kisah hidup anak jalanan. Masih banyak kisah – kisah hidup anak jalanan yang lain yang kita tidak tahu atau memang tidak ingin tahu.Marilah sejenak kita berhenti berceloteh tentang politik dan hukum. Mari kita tengok nasib mereka, generasi yang kita lupakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun