Mohon tunggu...
Puteri Syarfina
Puteri Syarfina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sastra Jepang yang mencoba terjun ke dunia kepenulisan artikel.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Kelompok Minoritas di Jepang: Suku Ainu

9 April 2023   21:40 Diperbarui: 9 April 2023   21:57 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jepang merupakan negara yang wilayahnya meliputi berbagai macam pulau di sepanjang timur laut hingga barat daya. Empat pulau utama yang berada di Jepang yakni Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Selain empat pulau utama ini, masih ada pulau-pulau milik Jepang yang hingga saat ini masih diduduki Rusia sejak akhir Perang Dunia II, yakni pulau Kunashiri, Etorofu, pulau-pulau Habomai, dan Shikotan yang terletak di atas pulau Hokkaido.

Jepang juga merupakan salah satu negara di Asia Timur yang dikenal publik sebagai bangsa homogen atau bangsa yang memiliki ragam etnis, agama, budaya, dan ras yang serupa. Namun, rupanya Jepang memiliki kelompok minoritas etnis asli Jepang seperti suku Ainu di Hokkaido dan suku Ryukyu di Okinawa.

Selain kelompok minoritas ini, ada juga kelompok minoritas orang-orang keturunan Korea, dan Burakumin atau keturunan orang-orang kasta terendah dalam masyarakat feodal Jepang. Adanya suku dan kelompok minoritas di Jepang ini menjadi salah satu perbincangan yang menjadi topik penelitian para peneliti di masa ini. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa suku minoritas yang akan dibahas pada artikel ini adalah suku Ainu.

Penduduk Jepang sejak periode sejarah Yamato pun periode sejarah Yayoi dikenal sebagai penduduk homogen. Namun, homogenitasnya tidak dapat dibuktikan secara biologis. Suku Ainu sendiri jika dibandingkan dengan masyarakat asli Jepang memiliki perbedaan ciri fisik antara lain, kulitnya yang lebih putih, warna rambut yang lebih terang---biasanya merah dan tebal---dan memiliki mata yang bulat. Sayangnya, penduduk Jepang yang sudah memupuk rasa kesamaan budaya pun tidak memperhatikan perbedaan ciri fisik yang membuktikan adanya ras maupun suku lain di wilayahnya.

Menurut sejarahnya, pulau Hokkaido yang awalnya bernama Ezo pada periode Edo (1600-1868) dihuni oleh penduduk aslinya yakni suku Ainu (Rostina, 2008). Hubungan masyarakat Ainu dengan masyarakat Jepang bermula pada saat wilayah kekuasaan Jepang belum mencakup pulau Hokkaido. 

Jepang secara berkala memperluas wilayah pemukimnya hingga pulau Hokkaido dan mulai merambah wilayah suku Ainu. Perluasan wilayah dan penaklukan Jepang atas masyarakat Ainu secara sistematis meningkat setelah Restorasi Meiji dan Hokkaido secara resmi dianeksasi atau dirampas oleh negara Jepang. Meskipun merupakan suku asli masyarakat Jepang tepatnya pulau Hokkaido, suku Ainu menghadapi serangkaian upaya dari pemerintah pusat Jepang untuk menginvasi dan merampas tanah mereka, bahkan berupaya mengasimilasi budaya dan bahasa mereka (Yoshio, 2010).

Tak sampai disitu, wilayah suku Ainu dinyatakan sebagai terra nullius (tanah yang tidak dimiliki siapapun) oleh Jepang. Bahkan, pada tahun 1872, pemerintah Jepang mulai membagikannya kepada kalangan petani Jepang (Weiner, 2009). 

Bahasa Ainu pun dilarang untuk dipergunakan, bahkan masyarakat suku Ainu dipaksa menggunakan nama Jepang. Kemudian terbitlah sebuah kebijakan politik dari pemerintah Jepang yang disebut Doka Seikaku, yakni kebijakan asimilasi untuk membuat gaya hidup, bahasa, dan adat istiadat masyarakat Hokkaido dan Okinawa disamakan dengan milik bangsa Jepang. Suku Ainu juga dilarang melakukan kegiatan tradisional dan budaya ciri khas mereka yang padahal diperlukan untuk kelangsungan kehidupan masyarakat mereka oleh Undang-Undang Perlindungan Kaum Aborigin Hokkaido pada tahun 1899.

Masyarakat suku Ainu yang menghadapi perampasan daerah, asimilasi budaya secara paksa dan lain sebagainya tentu melakukan perlawanan pada pemerintah Jepang. Salah satu bentuk perlawanan mereka ditandai dengan adanya organisasi bernama Utari Kyoukai, the Ainu Association of Hokkaido (AAH) yang didirikan pada 1946 (Weiner, 2009). Organisasi ini membuat Ainu Shinpo atau rancangan undang-undang baru untuk menuntut pemerintah Jepang agar memberikan hak masyarakat suku Ainu untuk partisipasi politik, serta diakui keberadaan dan sejarah asimilasi paksa yang dialami mereka. 

Namun, rancangan undang-undang ini ditolak oleh perdana menteri Jepang pada saat itu, Yasuhiro Nakasone yang kemudian menyatakan bahwa Jepang merupakan satu negara yang homogen atau hanya memiliki satu etnis mayoritas. Pernyataan Nakasone ini memicu kemarahan yang berujung pada unjuk rasa oleh sejumlah aktivis di Tokyo dan anggota Organisasi AAH (Buckley, 2009).

Penolakan pemerintah Jepang akan rancangan undang-undangnya, masyarakat Ainu mengirim delegasi mereka ke kelompok kerja untuk penduduk asli yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut Working Group on Indigenous Populations (UNWGIP). Setelah melalui berbagai laporan dan konferensi perihal hak-hak masyarakat suku Ainu, Jepang masih menganggap suku Ainu sebagai kelompok minoritas dan menghindari penggunaan kata 'penduduk asli' yang tidak diterima dalam definisi internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun