Hembusan angin menerpa wajah cantik sang gadis yang tengah menengadahkan tangan ke langit, berharap turun hujan di tengah cuaca yang sedang terik-teriknya. Seolah yang dilakukan adalah suatu pengharapan kuat yang akan tetap terjadi.
"Lin, lo ngapain berdiri disitu tengah siang gini? Buru masuk kelas, Pak Sandi sebentar lagi masuk kelas nih," ujar salah seorang gadis lainnya. Lalu, gadis yang merasa dipanggil namanya mengangguk dan memasuki ruang kelas dengan harapan kosong.
Sesaat setelah kejadian harapan tak terwujud, kelas di siang hari itu pun dimulai dengan khidmat. Dosen pengajar menjelaskan materi secara rinci, dan mahasiswa menyimak dengan sigap. Kecuali seorang gadis yang dipanggil dengan sebutan Lin tadi. Ia tengah sibuk menulis di bukunya, membuat jari-jemarinya menari di atas kertas. Tidak, ia tidak sedang menulis materi yang dipaparkan dosen. Melainkan menulis asal tentang perasaannya.
Hai, Kamu.. Apa kabar duniamu sekarang? Akankah lebih baik tanpa aku? Atau semakin buruk dengan tidak adanya aku? Kalau boleh mengabarkan, duniaku saat ini selalu mendung. Kamu pasti tahu bahwa aku suka mendung, tapi tidak jika itu terjadi pada duniaku. Aku berharap mendungku lekas usai, dan pelangi cepat terbit untuk membawa keceriaanku kembali. Baik-baik, ya, sama hidupmu, dan juga hatimu. Salam dari aku yang belum memiliki keberanian untuk mengirim tulisan-tulisan ini padamu.
Gadis yang tengah dilanda patah hati itu menjelma seorang penyair ulung. Kini ia menyukai menulis untuk meluapkan patah hatinya agar segera sembuh. Meski tulisannya tidak pernah ia tampilkan di media sosial manapun. Satu jam berlalu, dan kelas telah selesai. Mahasiswa berhamburan keluar kelas menuju urusannya masing-masing, membelokkan kaki ke arah kantin, atau menyusuri jalan untuk pulang. Tapi, tidak berlaku untuk Lin dan temannya.
"Mau kemana lagi kita?" tanya Aileena, sahabat Lin.
"Kemana, ya?" sebuah pertanyaan yang juga dijawab pertanyaan oleh seorang Lindya, dengan posisi tetap berdiri di depan kelasnya dan belum beranjak sedikitpun.
"Ya sudah, deh. Ayo ke Wifi Corner di tengah kota aja. Lumayan buat cuci mata juga sekalian ngerjain tugas Pak Sandi tadi," sebuah usul final yang diajukan oleh Aileena.
Sepanjang perjalanan hanya diisi obrolan kosong oleh keduanya, hanya deru mobil dan motor yang mengisi perjalanan mereka menuju tengah kota. Sesampainya di tempat tujuan, keduanya mengedarkan pandangan mencari tempat duduk strategis, yang akhirnya tertuju pada meja nomor dua dari timur, rindang dan sejuk.
"Lo mau gue pesenin cemilan sekalian atau cuma minum doang?"
"Pesenin cemilan juga deh, minumnya kayak biasa aja," jawab Lin singkat. Kemudian, Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik, sementara Aileena menuju food court yang memang selalu ada di tempat itu. Untuk yang kedua kalinya, jari lentiknya sudah menari di atas keyboard laptopnya. Masih seputar seseorang yang telah pergi meninggalkan Lindya seorang diri. Beberapa menit mengetik, tangannya berhenti mendadak kala sepasang retinanya menangkap sesosok kehadiran yang tidak ia harapkan.
"Duh! Kenapa harus kebetulan ketemu disini, sih," rutuk Lindya dalam hatinya. Lalu, Ailenna kembali bersama cemilan-cemilan di tangannya. Menyadari ekspresi Lin yang tidak biasa, ia tahu ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Setelah ia mengetahui apa penyebabnya, Aileena menyikut lengan Lin sedikit kasar, "Mau pindah tempat aja?" yang direspon dengan gelengan tipis oleh si empunya. Aileena bukan tak mengerti perasaan sahabatnya, dia sangat mengerti. Namun, jika Lin tidak berkeinginan untuk pindah tempat, maka ia menurut saja.
"Lin, lo baik-baik aja, kan?"
"You know me so well, Ai. Gue ngga pernah baik-baik saja sejak dia hilang. Pun saat beberapa detik lalu kehadirannya tertangkap retina gue. Hanya saja, gue ngga mau terus-terusan kabur lagi. Mau tidak mau, gue harus menghadapi kenyataan bahwa gue dan dia sudah tidak ada apa-apa lagi. Dan sekarang, gue mau menghadapi apapun yang dunia persembahkan ke gue, termasuk mempertemukan gue dengan dia,"
"Oke kalau itu yang lo mau, gue siap nemenin lo kemanapun dan kapanpun. Buat jagain lo," ujar Aileena tulus. "Oh, iya, Lin, gue punya usul menarik sama hobi baru lo itu," seru Aileena tiba-tiba. Sedang lawan bicaranya tengah menautkan alis pertanda bingung.
"Jadi, kemaren gue iseng aja nyari informasi tentang penerbit buku, lo kan suka nulis nih, siapa tau lo berminat buat nerbitin karya lo itu. Ya, gue tahu kalau lo pasti bakal nolak usulan gue ini. Tapi, please, kali ini jangan potong penjelasan gue dulu. Gue mau tulisan lo yang menurutlo obat itu, bisa dinikmati banyak orang, orang yang bernasib sama kayak lo. Hitung-hitung hobi lo turut menyelamatkan orang," jelas Aileena panjang lebar.
Sedangkan Lin tidak tahu harus merespon bagaimana atas ide sahabatnya itu. Karena terkadang, ide yang mencuat dari otak sahabatnya itu selalu aneh dan tetap masuk akal. Lin siap menerima usul Aileena, dengan catatan Aileena harus membantunya dalam mengoreksi tulisannya, meski menurut Aileena tulisan Lin sudah benar-benar bagus untuk seorang pemula.
Hari kian menyore, keduanya memutuskan untuk beranjak pulang. Keduanya tinggal di kompleks perumahan yang sama, meski berbeda blok, Lin di Blok C, sedangkan Aileena di Blok E. Sesampainya di rumah, Lin duduk termenung di meja belajarnya. Ia tetap berpikir apa yang harus ia tulis jika ingin menerbitkan buku. Awalnya ia menerima saran Aileena untuk menuliskan kisahnya, namun ia ragu bahwa cerita pilunya bisa menghibur banyak orang. Tidak ada orang di luaran sana yang tertarik menukar uang hanya demi membeli buku dengan kisah yang berakhir sedih, pikirnya. Setelah semalaman berppikir, ia memutuskan untuk menulis kisahnya dengan kemasan yang berbeda, bukan sebagai cerita melainkan sebuah kalimat-kalimat prosa yang semoga bisa menyejukkan hati pembacanya.
Larik-larik sajak tak lagi berhamburan membentuk sebuah kisah-kisah utuh tentang sejoli yang bahagia. Ia telah membisu karena tokoh utamanya telah hilang jauh sebelum tulisan itu tersusun. Judul-judul kian membeku tak tahu-menahu harus dibawa kemana arah cerita ini, akankah dihentikan begitu saja? Ataukah harus dilanjutkan dengan tokoh fiksi yang sesuai harapan si penulis? Ah, penulis pun turut bingung menyaksikan sajak-sajak yang tak terkendali di hadapannya.