Apakah kamu pernah ngidam makanan yang manis-manis tanpa sebab yang jelas?
Keinginan akan makanan manis ini sangat lazim terjadi kapan saja dan dimana saja, terlebih di masa pandemi covid-19 sekarang ini dimana kegiatan kita sebagian besar berorientasi dirumah saja, kebanyakan dari kita pasti menyediakan makanan manis sebagai camilan yang wajib ada saat kita melakukan marathon film di netflix ataupun platform digital lainnya untuk mengisi waktu luang. Ngemil makanan manis pun menjadi pilihan yang sangat tepat untuk menemani waktu kita dirumah selama belajar, bekerja, maupun sekadar menjadi dessert setelah makan. Terkadang tanpa kita sadari, seberapa pun kenyangnya kita, selalu ada tempat untuk yang manis-manis bukan?
"Desserts help me destress."
Banyak orang berkata, untuk mengatasi stress maupun perasaan negatif, mereka akan mengonsumsi makanan manis. Makanan manis pun sering dianggap pembawa efek penenang dan pembawa perasaan positif sehingga orang disegala usia, diberbagai keadaan, senang ataupun sedih, pasti ada keinginan ngemil makanan manis.
Nah pernah bertanya-tanya ngga' sih, Mengapa makanan manis bisa membuat kita secandu itu hingga ngidam terus-terusan ya?
"Your body does not discriminate against pleasure. It can become addicted to any activity or substance that consistently produces dopamine." --Dr. Renee Carr, Psy.D
Ternyata terdapat hubungan antara gula dan dopamin, yaitu reaksi "pleasure and reward" dalam otak. Disaat kita mengonsumsi makanan manis, otak kita akan bereaksi dengan memproduksi banyak hormon dopamin. Hormon ini lah yang kemudian memberikan rasa kesenangan dan kenikmatan sehingga kita yang sedang merasakan kesedihan akan merasa lebih baik setelah mengonsumsi makanan manis. Namun, hormon ini ternyata juga berefek pada rasa candu yang mendorong kita untuk melakukannya lagi dan lagi karena otak menggunakan dopamin sebagai reward system sehingga memperkuat perilaku tertentu, dan dalam konteks ini yaitu ketagihan mengonsumsi makanan manis.
Layaknya konsumsi narkotika. Saat mengonsumsinya, narkotika membuat otak merilis jumlah dopamin yang banyak dengan memperdaya otak untuk mempercayai bahwa narkotika berguna dan merupakan hal yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, otak pun akan mengalami kerusakan dengan banjirnya hormon dopamin. Untuk mengatasi hal ini, pengguna obat-obatan terlarang pun akan terus-menerus mengonsumsinya demi memenuhi rasa 'high' nya tersebut. Inilah bagaimana kecanduan dapat terjadi.
"Addiction is an adaptation. It's not you---it's the cage you live in." --Johann Hari
Terdapat beberapa bahan makanan yang juga menimbulkan efek ketagihan yang sama seperti halnya obat-obatan terlarang, alkohol, dan tembakau (rokok). Penelitian menyebutkan, tidak jauh berbeda dengan kecanduan obat-obatan terlarang, efek dopamin saat kita mengonsumsi makanan-makanan manis pun sama-sama memberikan kesenangan dan kenikmatan palsu pada otak bahwa tubuh membutuhkan kalori dalam jumlah yang besar sehingga dopamin akan dikeluarkan terus-menerus. Jika dilakukan terus-menerus, perilaku ini pun dapat meniru efek yang sama akan kecanduan yang kemudian menciptakan toleransi dan keinginan yang tinggi terhadap gula.
Dr. Mark Hyman, ahli di bidang nutrisi yang secara spesifik berfokus pada efek gula pada tubuh mengatakan bahwa gula 8 kali lebih adiktif daripada kokain (jenis narkotika). Mungkin bagi orang awam, pernyataan ini seperti kebohongan yang hanya dibesar-besarkan saja. Padahal kenyataannya, jika kita melihat komposisi bahan dalam olahan makanan maupun minuman, pasti hampir semuanya mengandung gula. Faktanya, salah satu penelitian mengungkapkan bahwa manusia dewasa bisa mengonsumsi 77 gram gula setiap harinya, 3 kali lebih banyak dari yang dianjurkan. Angka ini pun lebih meresahkan pada anak-anak, dimana anak-anak dapat mengonsumsi gula hingga 80 gram lebih setiap harinya. Hal ini tidak lain tidak bukan berasal dari makanan yang kita konsumsi, tidak banyak orang yang sadar bahwa hampir semua olahan makanan yang kita konsumsi mengandung gula didalamnya.