Mohon tunggu...
Burhani Ash-shiddiqi
Burhani Ash-shiddiqi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Putera Nuib Sihise, sebuah nama pena yang ku gubah sendiri.. Aktif di Teater Syahid..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Baju Baru

17 Agustus 2012   20:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13452556051605739572

“Bapak, Teguh mau baju baru..”

“Iya, Nak. Nanti Bapak belikan?”

“Asiiik.. Sekarang, Pak?”

“Nanti, kalau sudah dapat uang.”

“Bapak dapat uangnya kapan?”

“Doakan saja, Nak.”

Agus sudah tahu, cepat atau lambat pasti anaknya akan menanyakan perihal baju baru, karena memang sekarang sudah mendekati hari Idul Fitri. Terkadang Agus berpikir mengapa harus ada baju baru ketika lebaran? Ah, tapi memang ini bukan salah baju baru, ini adalah karena dirinya yang belum bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membeli baju baru untuk Teguh anaknya.

Hari semakin mendekati lebaran, tapi Agus masih belum memiliki uang yang cukup. Hasil dari pekerjaanya mengojek motor hari ini pun baru cukup untuk menutupi kebutuhan harian dan sisa dua ribu untuk menambah tabungan baju baru. Sedangkan penumpang semakin sedikit karena kawasan yang banyak dipadati oleh karyawan yang ngekos ini telah sepi ditinggal sementara warganya mudik ke kampungnya masing-masing.

Sudah lima jam Agus mangkal sejak tadi jam lima pagi. Namun, ia baru mendapat satu penumpang. Meski sebenarnya hari ini ada lima orang yang mengunjungi pangkalan ojek, namun tentu Agus harus berbagi dengan teman-temannya sesama tukang ojek. Hufh. Agus berkali-kali menghela nafas untuk membuang kegalauan hatinya. Ia tampak berpikir serius. Tak lama kemudian, ia tampak sumringah. Ternyata, Agus telah memiliki cara guna menyelesaikan masalahnya, dan langsung menyalakan mesin motor dengan setengah terburu.

“Lho. Mau ke mana lu, Gus?”, tanya seorang temannya.

“Saya duluan ya.”

“Masih pagi. Baru dapet satu lu. Udah mau pergi aja. Udah banyak duit sekarang ya?”, seorang tukang ojek lainnya menambahkan.

“Hha. Aamiin, kalau punya banyak uang mah. Saya duluan. Assalaamu’alaikuum..”

“Wa’alaikumussalaam…”, jawab teman-teman Agus hampir serentak.

Kemudian slah seorang dari mereka langsung menyambar, “Kalo punya duit banyak bagi-bagi…!!!”

Agus hingga siang ini habis lebih memilih untuk mendatangi masjid-masjid besar di sekitar daerah rumahnya. Di beberapa masjid ia bahkan melaksanakan sholat sunnah terlebih dahulu, sebelum ia berkeliling masjid mencari informasi yang dibutuhkannya dengan berbagai cara mulai dari mengamati spanduk depan masjid, menelusuri lembaran informasi yang tertempel mading dan juga bertanya pada orang yang ia rasa sering ke masjid tersebut.

***

“Teguh, kita jalan-jalan, yuk.”, kata Agus sambil menghampiri anaknya yang sedang terlentang sambil memegangi perutnya.

“Asiik.. Kita mau beli baju baru, Pak?”

Agus panik dan segera menyadari bahwa anaknya telah salah paham. “Bukan. Bapak mau ajak Agus ngabuburit.”

Wajah Teguh perlahan tampak menunjukkan rasa kecewa. Melihat hal itu Agus segera menggandeng tangan anaknya. “Ayo, jangan sampai terlalu sore..”

Saat perjalanan mereka saling diam. Teguh merasa kecewa, sedangkan Agus membiarkan anaknya tenang dengan sendirinya. Namun perlahan Teguh menikmati perjalanan bersama Bapaknya. Sampai akhirnya Teguh membuka pembicaraan.

“Pak, kita mau ke mana?”

“Ya?”, Agus tak siap mendengarkan pertanyaan anaknya barusan. Ditambah suara bising jalan raya.

Teguh mengulangi pertanyaannya, “Kita mau ke mana?”

“Ooh. Kita putar-putar saja. Sampai dekat maghrib.”

Teguh terdiam kembali, tak berminat melanjutkan percakapan. Agus pun tak mencoba menyambungnya.

Maka Teguh pun memilih untuk memperhatikan keadaan di sekitar perjalannya. Ia menjadi rindu akan sosok yang padahal tak pernah menggendong, menyusuinya dan mengantarkannya dengan nyanyian penuh kasih kala beranjak tidur. Sebabnya ia melihat satu keluarga yang lengkap sedang bersenda tawa di taman kota yang ia lewati. Teguh pun larut dalam angan romantisme bermanja dengan ibunda yang makin dirindunya. Ia khusyuk dalam pejam, sembari linangan yang menerobos kelopak mata. Dieratkannya peluk ke Bapak, mebiarkan air mata diuapkan hembus angin.

Hari sudah sesenja perhitungan Agus, ia putar haluan membawa serta dua hal yang penting dalam hidupnya yaitu motor dan anaknya ke arah jalan pulang.

“Pak, kok lewat sini?”

“Kita ke masjid dulu.”

“Bapak belum sholat ashar?”

“Bapak sudah sholat ashar, Nak.”

***

Sesaat setelah mereka sudah duduk dengan tenang, tampak kemudian seorang pemuda rapi mengenakan peci, koko dan sarung, keluar dari pintu di samping tempat imam memimpin shalat berjamaah. Ia menghampiri orang-orang yang telah hadir di masjid dan memberikan selembar kupon bernomor serta bertuliskan “Makanan Buka Puasa”.

Sejak hari itu yang merupakan hari ke-24 Ramadhan, kemudian Agus selalu mengajak Teguh ke masjid yang berbeda setiap harinya di kala mendekati maghrib, juga terus hingga shalat tarawih, i’tikaf, hingga saatnya tiba makan sahur. Setelah sholat shubuh, barulah Agus dan Teguh pulang ke rumah. Terus seperti itu hingga akhirnya di tanggal 28 Ramadhan.

“Teguh, kita jalan-jalan, yuk.”, kata Agus sambil menghampiri Teguh yang telah siap dengan baju takwa yang ia punya.

“Putar-putar jalan lalu ke masjid kan?”

“Bukan. Bapak mau ajak Teguh beli baju baru.”

Agus segera menggandeng tangan anaknya, “Ayo, jangan sampai terlalu sore.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun