Suara nyaring membangunkanku pada kesadaran. Aku yang tidak bisa bangun pagi dengan sendirinya hanya bisa mengandalkan benda bersuara nyaring itu untuk memulai hari ku di dunia yang kejam ini.Â
Lupakan soal itu! Sekarang aku sudah siap dengan seragam yang membalut tubuhku dan sepatu hitam putih yang menjadi alas kaki. Mulai kulangkahkan kaki ini menuju bangunan yang digunakanan untuk mencari ilmu. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat langit pagi ini yang terlihat gelap, mungkin sebentar lagi akan menurunkan tetes demi tetes kesejukan.Â
Di sana, tepat di depan plang yang bertuliskan tujuanku, seorang nenek tua dengan tangan yang menengadah mencoba memelas meminta kasih sayang dari orang-orang yang lewat di depan matanya. Matanya bergulir lalu tepat menatap netraku. Kupandangi netranya yang mirip dengan seseorang, orang yang membuatku hadir di dunia ini. Ada harapan disana, aku membenci itu.Â
Seiring langkahku semakin jelas binar yang mulai nampak. "Tolong nak, belum ada sesuap nasi pun yang kurasakan dari kemarin" ucap sang nenek. Tanganku mulai merogoh mencari kertas dengan nominal. "Saya cuman bisa kasih ibu segini, maaf" ucapku. Nenek itu tersenyum, ada gelinyar aneh yang kurasakan. Kubalas senyuman nya. Langkahku tidak lagi sama, kini ku bawa ke perempatan jalan di depan sana. Sesosok hebat dengan tumpukan koran menghampiriku "kenapa disini? " Tanyanya "hari ini ternyata libur" Balasku. Itu bohong! Nyatanya aku membolos. Aku menyuruh sosok itu pulang, dengan dalih aku yang akan menjual semua korannya. Padahal yang kulakukan adalah bertransaksi ilegal. Hingga sejuk mulai menggantikan terik.Â
"Aku pulangg!" Ucapku. Berbeda, tidak ada sautan yang biasa didengar. Kuhampiri tempat peristirahatannya, bau minyak urut menyeruak. Dia, sosok hebat itu tegeletak di lantai. Ku sentuh tanganya yang biasa hangat kini dingin. Bertepatan dengan itu aparat berseragam memaksa masuk ke dalam. Semua terasa begitu cepat, sampai pada kenyataan bahwa aku tidak bisa lagi melihat sosok hebat itu, tidak lagi bisa merasakan pelukan hangatnya, tidak lagi mendengar tutur halus katanya, dan tidak lagi menatap netra penuh harapnya. Dia ibu! ibuku telah pulang, pulang pada pangkuannya. Pipi ini telah basah oleh gelinang air mata.Â
Ketika tanah mulai menutupi tubuhnya, aku pergi dengan para aparat. Di sepanjang jalan hanya ada kehampaan. Kini aku mengerti bahwa gelenyar aneh yang ku rasakan pada sang nenek adalah karena aku merasa bersalah telah memberinya uang haram dan alasanku membenci tatapan penuh harapnya karena ibu juga selalu menatap ku seolah aku bisa mengenggam dunia ini suatu saat nanti. Aku hanya tidak ingin melihatnya kelelahan menjual koran yang tidak seberapa untungnya, aku hanya tidak ingin ada sirat kekecewaan darinya, aku hanya ingin dia bahagia, makan dengan sehat dan selalu tersenyum. Hingga aku tersesat dan memilih cara cepat, menjual obat obatan terlarang. Ya Tuhan! Aku hanya terlalu menyayangi ibu hingga dengan bodohnya melakukan hal yang justru akan membuatnya teramat kecewa .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H