Mohon tunggu...
Oom Somara De Uci
Oom Somara De Uci Mohon Tunggu... Seniman - Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pegiat Seni dan Budaya. Sepakbola, jalan-jalan, baca dan ngariung jadi hobi. Tinggal di Pustaka Kemucen, Aryakamuning 19 RAJAGALUH - MAJALENGKA. 45472

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beasiswa S2 untuk Penulis Sunda

16 Desember 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah surat pembaca di Kompas Jawa Barat, Rabu, 20 Oktober 2010, mencuri perhatian saya. Judulnya sepersisnya menjadi judul artikel ini, "Beasiswa S-2 Untuk Penulis Sunda", ditulis oleh Jaya Sudjana, dari Jatinangor, Sumedang. Surat itu setidaknya mengandung dua hal yang nampak tojaiyah, keprihatinan sekaligus kebanggaan.

Keprihatinan sang penulis surat terhadap besarnya beasiswa di perguruan tinggi yang belum terserap secara optimal, bahkan terbuang mubazir dan sekiranyapun terpakai kurang memanfaatkannya dengan sepenuh tanggungjawab. Penulis surat bahkan merasa bahwa "strategi pengelolaan beasiswa perlu dikaji kembali". Uniknya, Jaya menginginkan bahwa penerima beasiswa sebaiknya ditawarkan kepada anak-anak muda yang memiliki "minat khusus" kepada kesundaan.

Ada beberapa nama yang disebut Jaya layak ditawari beasiswa untuk kuliah S-2. Nama-nama itu ditengarai sebagai " sudah sering dimuat di berbagai media Sunda dan Indonesia". Selain itu ada tiga Perguruan Tinggi yang juga disebut Jaya; Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Unpad oleh Jaya disebut sebagai "selama ini punya perhatian lebih pada kesundaan".

Tentu saja, saya sendiri senang membaca surat ini. Saya jadi ingat pengalaman sendiri ketika tahun 1999 saya menempuh Program Pasca Sarjana di IKIP Bandung. Saya menjadi angkatan terakhir Program Pasca Sarjana sebelum kemudian IKIP berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ketika itu bahkan mucul seloroh yang sangat terkenal bahwa UPI itu wancahan dari Universitas Padahal Ikip.

Saat itu saya bersama beberapa teman, diantaranya Djadja Djahiri dari IAIN Sunan Gunung Djati, kini UIN (Universitas Islam Negeri) Bandung, membentuk Senat Mahasiswa PPS IKIP Bandung dengan sekretariat di lantai dua. Djadja Djahiri itulah yang kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa PPS. Ketika itu kebersamaan antar mahasiswa Pasca terasa sekali, tidak peduli dari jurusan mana. Saya sendiri mengambil Ilmu Sosial, sementara Djadja Djahiri yang juga duduk sebagai salah satu Ketua MUI mengambil Administrasi Pendidikan, jurusan yang paling banyak peminatnya. Jurusan yang "paling heboh" adalah Bahasa. Selain karena beragamnya disiplin ilmu dan konsentrasi, juga dosennya "paling heboh"; ada Chaedar Alwasilah yang sering mengundang penyair, seniman atau budayawan; juga ada Burhanuddin Mustafa yang baru saja pulang dari Amerika. Dosen yang juga suami dari seorang novelis ini kerap dibicarakan di kantin dengan inisial Mr BM. Pembicaraan selalu naik pada wilayah sastra yang menggairahkan.

Namun dosen yang justru dekat dengan mahasiswa adalah Dr. Dedi yang juga menjadi Direktur Dua PPS yang memungkinkannya dekat dengan seluruh mahasiswa. Bahkan beliau pernah memberikan sebuah proyek penelitian tentang SLTP Terbuka yang dikerjakan bersama-sama mahasiswa PPS. Uang sakunya cukup lumayan. Sayang, usia beliau tidak panjang.

Terus terang, masa berkuliah di PPS IKIP Bandung itu sangat-sangat berkesan bagi saya. Seandainya saja saya tidak mengalami kesulitan finansial. Kampus benar-benar menjadi semai sekaligus sumber inspirasi yang menyegarkan. Tulisan saya baik cerita pendek maupun kolom hampir tiap minggu hadir di Majalah Mangle. Namun sayangnya produktivitas itu tidak sebanding dengan materi yang didapat. Meminjam isi surat Jaya," dunia kesundaan hingga saat ini belum memberikan penghargaan berarti dalam hal materi".

Walaupun saya sempat dua kali mendapat hadiah cerita pendek terbaik Majalah Mangle, lewat karya yang berjudul "Kutamanggu" dan setahun kemudian "Lilis Jeung Lilis". Kemampuan saya untuk dapat bertahan kuliah semakin rapuh. Saya hanya memiliki uang untuk satu semester saja. Dengan harapan di semester berikutnya saya mendapat Beasiswa, sama ketika saya menyelesaikan Sarjana di Jurusan Sejarah IKIP Jakarta. Presiden B.J Habibie ketika itu memberikan prioritas Beasiswa untuk Indonesia Timur. Sementara Beasiswa yang tersedia di kampus hanya untuk dosen yang sedang tugas belajar atau mendapat mandat dari yayasan. Saya yang berstatus mahasiswa reguler sungguh-sungguh kelimpungan.

Gelimang Uang dan Si Kabayan Ngadeupaan Lincar

Beberapa nama yang "sangat populer", termasuk kepala institusi dan lembaga, di Jawa Barat pernah juga saya datangi. Dengan satu map berisi karya-karya saya. Artinya saya tidak sekedar mengharapkan beasiswa untuk menunjang study saya, tetapi juga menawarkan karya-karya saya; bahwa saya "berkarya" untuk apa yang disebut Jaya," dunia Kesundaan".

Bahkan pernah suatu ketika saya datangi seorang guru besar yang juga memiliki sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Tulisannya tentang pendidikan sebagai aset masa depan sering muncul dalam media dan jurnal pendidikan. Mobil miliknya tak muat dalam garasi. Sebuah mobil baru yang saya tahu pajaknya luar biasa terparkir dengan pantat tersembul keluar pagar rumah. Lewat samping kendaraan mengilap itu saya masuk dengan mengatakan saya mahasiswanya di Pasca. Berhasilkah saya di sana? Sama sekali nihil. Bahkan hampir-hampir seperti dramaturgi India yang dramatis, hujan mengiringi langkah saya pulang dengan map yang basah dan tubuh kuyup!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun