Menyusuri Batas Nusantara: Perjalanan ke Sebatik Barat
Pagi itu, langit Nunukan cerah tanpa secuil awan gelap menggantung. Udara sejuk pagi hari membelai wajah saat kami memulai perjalanan dari Hotel Marvel, tepat di depan alun-alun Nunukan. Motor yang kukendarai melaju pelan, meninggalkan alun-alun yang mulai sibuk oleh aktivitas pagi. Pelabuhan Tunon Taka menjadi tujuan pertama. Aku memarkir motor dengan hati-hati di tempat yang sudah disediakan, lalu berjalan menuju dermaga. Perjalanan panjang menuju Sebatik Barat baru saja dimulai.
Speedboat yang kami naiki tampak kokoh, walau debur ombak yang cukup kuat terasa mengguncang saat perahu mulai menembus lautan. Desa Bambangan, sebuah pintu masuk menuju pulau Sebatik, perlahan mendekat di ujung pandangan. Dalam waktu 15 menit, kami tiba di dermaga Bambangan, dan mobil yang sudah disiapkan oleh salah satu guru SMKN 1 Sebatik Barat menunggu kami di sana.
Jalan menuju sekolah terasa begitu berbeda dari perkotaan. Mobil yang kami tumpangi melintasi beberapa pos penjagaan TNI. Setiap kali, kami harus membuka jendela, menunjukkan kehadiran kami yang bersahabat. TNI di sana menjaga perbatasan dengan serius, mengingatkan kami betapa dekatnya posisi kami dengan negara tetangga. Tentara-tentara tersebut tak pernah terlihat santai, namun senyum ramah selalu mereka hadirkan saat kami lewat.
Setelah perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya SMKN 1 Sebatik Barat menjulang di depan mata. Sekolah itu tidak seperti sekolah biasa---halamannya terbentang luas sejauh mata memandang, dengan lahan sekitar 35 hektar. Kami disambut oleh Bu Mangestiningtyas, kepala sekolah, serta Bu Jumriati, guru Bahasa Indonesia dan Wakil Kepala Kurikulum. Kegiatan fasilitasi dimulai dengan diskusi serius, di mana aku bersama tim berbagi strategi dan wawasan dengan penuh semangat. Ibu-ibu guru ini penuh dedikasi, mencurahkan perhatian mereka pada masa depan pendidikan di daerah perbatasan ini.
Setelah beberapa jam, sesi fasilitasi selesai, dan kami diajak berkeliling oleh Bu Jumriati. Ternyata, SMKN ini memiliki berbagai fasilitas yang mengesankan. Di sudut sekolah, terdapat danau buatan yang menjadi tempat rekreasi terbuka bagi umum. Di sisi lain, tambak ikan tersebar, dikelola oleh siswa-siswi jurusan perikanan. Tak jauh dari situ, lahan perkebunan membentang, diisi oleh ratusan pohon yang sengaja dibudidayakan oleh siswa jurusan perkebunan. Pemandangan itu sungguh memukau, diapit oleh gunung yang menjulang dari kejauhan, menjadikan suasana semakin damai.
Namun, hari mulai merambat petang, dan kami harus segera kembali. Mobil kembali membawa kami melewati hutan kelapa sawit, seolah tak berujung, menyajikan pemandangan alam khas pedalaman. Sampai akhirnya, kami tiba lagi di desa Bambangan. Dengan langkah cepat, kami menaiki speedboat terakhir hari itu, mengarungi lautan menuju pelabuhan Tunon Taka. Senja sudah hampir tiba ketika kaki kami menapak di dermaga Nunukan.
Motor yang sudah menunggu di parkiran membawa kami pulang ke Hotel Marvel. Saat azan Magrib mulai berkumandang, rasa lelah menyeruak, tetapi ada kepuasan yang tak terlukiskan. Perjalanan panjang yang menyenangkan ini menyisakan kesan mendalam---di antara perbatasan, alam, dan dedikasi para pendidik yang penuh harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H