[caption id="attachment_332933" align="aligncenter" width="350" caption="ilustrasi (detik.com)"][/caption]
Tulisan ini akan saya awali dengan cerita mengenai tugas kelompok mata kuliah ilmu perilaku dari dosen yang mengharuskan kami mewawancarai beberapa waria di Kota Semarang.
Tidak begitu sulit mencari mereka, karena kami sudah tahu spot-spot yang biasa mereka tempati untuk mangkal. Satu lagi, tipsnya. Pencarian dilakukan pukul 21.00 WIB ke atas, karena jam sebelum itu, biasanya mereka belum menampakkan diri.
Salah seorang diantara waria yang kami temui, sebut saja Manis, adalah waria yang paling menyentuh dimata saya. Bagaimana tidak? Usia 47 tahun, dimana setiap hari hanya mendapat satu dua pelanggan dengan berongkos 15 hingga 20 ribu rupiah tiap main. Paling menyedihkan adalah pengakuannya tentang virus HIV/AIDS yang menyerangnya sejak 8 tahun silam.
Manis, seorang waria perantauan yang tak ada kesempatan untuk kembali ke Sumatera, tanah kelahirannya. Buat apa? Tidak ada yang mau menerimanya lagi. Dicoretnya ia dari kartu keluarga menandakan bahwa ia tak diakui lagi sebagai bagian dari keluarga.
Itulah sepenggal kisah si Manis yang saya hadirkan sebagai gambaran. Dalam kehidupan ini, sungguh banyak cerita sejenis yang beredar di sekitar kita. Hanya beda taraf saja. Intinya satu. Merasa terjebak dalam raga yang salah. Misalnya, “Fisikku laki-laki, tetapi jiwaku perempuan”. Kasus yang menyertai biasanya, “Aku laki-laki, tapi aku tidak tertarik sama sekali dengan perempuan” atau “Aku cuek apabila melihat perempuan cantik, tapi mataku tak henti berkedip ketika melihat laki-laki tampan”, dan sebagainya.
Teman semasa saya kecil dulu, misalnya. Anak perempuan yang masih suka cinta monyet-cinta monyetan. Malangnya, teman-teman yang menjadi sasaran cinta monyetnya, merasa jijik dan risih. Akibat terus diremehkan dan diacuhkan, lama-kelamaan ia menganggap bahwa setiap laki-laki itu menyakitkan. Setidaknya itulah analisis saya dan teman-teman dulu ketika mengetahui bahwa teman kami ini berpacaran dengan seseorang yang berjenis kelamin sama.
Lain lagi dengan kakak kelas saya dulu. Seorang cewek yang terlihat tomboy dan macho, yang dulu saya ketahui juga berpacaran dengan sesama jenis. Disinyalir karena kekecewaan terhadap ayahnya yang menyakiti keluarga, ia tumbuh menjadi sosok yang kuat dan pemberani. Terpola dalam pikirannya, bahwa ia harus melindungi wanita, tidak boleh ada wanita yang disakiti seperti ia disakiti ayah, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, itulah analisis saya dan teman-teman waktu itu. Bukan bermaksud sok tahu, tetapi dari analisis itulah kami menjadi lebih paham terhadap mereka-mereka yang unik. Bahwasanya seringkali perilaku menyimpang itu ada akibat pengalaman di masa lalu yang menyakitkan sehingga ada ketraumaan mendalam yang terbawa pada sikap dan perilaku keseharian.
Hendak menjadi dirinya atau menjadi “sosok” lain; dengan segala kisah cinta dan orientasi seksualnya, itu semua pilihan. Telah jelas dalam hadist riwayat Al Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.
Adanya mereka adalah hikmah, yaitu menjadikan kita lebih bersyukur, bahwasanya kita diciptakan dengan raga dan jiwa yang cocok. Bahwasanya sampai detik ini tidak ada masalah di masa lalu yang membuat kita tidak nyaman dengan identitas kita. Bahwasanya manusia itu beragam, dan Tuhan menjadikan keberagaman itu pembelajaran. Alhamdulillah.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H