Rumah dan keluarga merupakan bagian penting bagi setiap orang untuk dapat berkembang dan bertumbuh dengan saling mengasihi, menyayangi, menerima kelebihan dan kerungan serta sebagai tempat istirahat atau pulang ketika kita sedang lelah dengan dunia dan seisinya.
Lalu bagaimana jika keadaan rumah tangga sebuah keluarga tidak utuh dan malah membuat kita kelelahan secara psikis?
Kekerasan psikis diatur dalam pasal 45 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sedangkan penelantaran dalam rumah tangga diatur dalam pasal Pasal 49 huruf a Undang- undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi: “setiap orang yang melakukan penelantaran rumah tangga dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”
Artikel ini akan memuat tinjauan hukum mengenai kasus dalam Putusaan Nomor 335/Pid.Sus/2021/PN Kwg yang mendakwa Chan Yung Ching atas kekerasan psikis dan penelantaran dalam rumah tangga dengan dakwaan alternatif pertama pasal 45 ayat (1) jo pasal 5 huruf b jo pasal 7 UU No. 23 tahun 2014 dan dakwaan altrnatif kedua yaitu pasal 49 huruf a jo pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kronologi kasus ini dimulai ketika Chan Yung Ching atau kemudian disebut CYC menikah dengan Valencya dan dikaruniai 2 orang anak yang masing-masing bernama Angel Chan dan Wilson Chan. Menurut keterangan saksi, pada tahun 2019 CYC dan istri Valencya sering terlibat bentrok yang mengakibatkan CYC keluar dari rumah.
Dalam uraian fakta disebutkan bahwa CYC dan Valencya sering bertengkar dihadapan anak-anaknya serta CYC pernah mengatakan cacian kotor dan membentak. Selain itu, CYC juga sering menjelekan Valencya pada anak-anaknya yang dibenarkan oleh terdakwa dengan dalih hal tersebut memang lumrah terjadi dalam rumah tangga.
Berdasarkan keterangan Nuram Mubina, M.Psi selaku psikolog Valencya dan Angel Chan, keduanya terganggu secara psikologis atas perilaku CYC dan mengalami kesulitan tidur, cemas, perubahan suasana hati dan tidak merasa bahagia selama berbulan-bulan.
Namun meski demikian, majelis hakim tidak menemukan bukti yang dapat meyakinkan.
Kemudian Valencya yang diperiksa sebagai saksi mengaku bahwa setelah keluar dari rumah, CYC menelantarkan keluarganya dengan tidak menafkahi istri dan anak-anaknya. Namun, hal itu terbantah karena CYC sempat mengirim nafkah sebesar RP. 30.000.000 pada bulan pertama kepada Valencya melalui transfer namun dikembalikan lagi melalui transfer.
Atas kasus tersebut di atas, majelis hakim memutus bahwa CYC tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai mana yang didakwakan penuntut umum dalam dakwaan pertama maupun kedua dan oleh karena itu majelis hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.
Dalam uraian kasus di atas, penulis dapat memberikan saran bahwa pernikahan dan rumah tangga hendaknya dirawat dengan baik untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bentrok dan salah paham memeng lumrah terjadi dalam rumah tangga dan hendaknya diselesaikan dengan baik-baik tanpa menggunakan kata-kata makian atau kata-kata kasar yang dapat memicu emosi.