Mohon tunggu...
Puspa Agustin
Puspa Agustin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis - Sastra Indonesia

Seseorang yang memiliki ketertarikan pada bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

[Opini] Bagaimana Denial Menenggelamkan Seseorang ke Lubang Kesedihan?

22 Februari 2024   12:56 Diperbarui: 23 Februari 2024   17:35 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita, memang akan selamanya menjadi luka yang tidak ada obat penawarnya.

Jika teman-teman pernah mendengar potongan kalimat yang serupa seperti, "kalau dunia kehilangan satu orang, itu hanya berkurang satu angka jiwa di dunia, tapi bagi seseorang yang sangat menyayanginya, itu bisa berarti dia kehilangan dunianya".

Dan itulah yang terjadi. Ketika saya kehilangan seseorang yang sangat berarti dan saya sayangi dalam hidup saya, rasanya seperti saya hidup dalam kematian. Sangat menyakitkan.

Sedikit cerita, di bulan November 2022 saya kehilangan ibu tercinta, lalu di April 2023 kakak laki-laki saya ikut dijemput yang Maha Kuasa. Ini semua terjadi setelah perjalanan mereka melawan penyakitnya.

Sangat hancur jika menengok ke belakang, melihat memori-memori perjalanan perjuangan tersebut hingga bermuara pada kehilangan.

Marah, kecewa, sedih, tidak percaya, putus asa dan semua perasaan yang menyakitkan bertumpuk menjadi satu hingga saya tidak tahu lagi disebut apa perasaan kala itu.

Namun ternyata pada teorinya, perasaan tersebut sangat normal terjadi. Menurut Psikiater Elisabeth Kubler-Ross, ada lima tahap kesedihan atau stages of grief (kini menjadi tujuh) ketika seseorang sedang berduka.

Bagaimana tahapannya? Saya akan bercerita berdasarkan yang saya rasakan. Yuk kita bahas sama-sama di sini.

Seperti apa rasanya duka?

Bagi saya, rasa duka yang dirasakan karena kehilangan orang tersayang untuk selamanya, sangat abstrak. Karena tidak ada jenis rasa yang mutlak untuk mendefinisikannya.

Ini tidak seperti rasa cabai yang pedas, garam yang asin, bukan juga kopi pahit. Benar-benar sulit untuk dijelaskan.

Hidupnya rasa duka ini, kerap membuat saya mati. Banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Dari fisik, perilaku, hingga emosional. Yang sangat jelas, semua seperti berantakan. Dunia seperti tidak berpihak kepada diri saya. Setidaknya seperti itu narasi yang ramah terdengar dari orang yang berduka.

Lalu, bagaimana tahapan kesedihan atau stages of grief menurut Psikiater Elisabeth Kubler-Ross?

Mengutip dari Choosing Therapy yang membahas tentang "The Five Stages of Grief: Definition & Examples", tahapan kesedihan itu terdiri dari; denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance.

Dari kelima tahapan di atas, saya akan membahas tahap denial atau penyangkalan, yang mana ini sedang saya hadapi dan perlahan coba pahami.

Bagaimana saya tahu bahwa saya sedang denial atas kepergian orang-orang terkasih saya? Ini saya sadari ketika suatu waktu saya deep talk dengan seseorang, yang pada intinya, saya masih berat untuk berjalan, berkunjung ke rumah keabadian ibu dan kakak laki-laki saya. Padahal saya rindu.

Dan kalau dipikir-pikir, saya memang denial, karena setiap saya melihat tumpukan tanah itu, yang terbesit dalam kepala saya adalah, "bagaimana mungkin ada orang yang bisa bertahan di dalam tanah?" Dan jawabannya "tidak mungkin ada". Jadi, ya, mereka, baik ibu ataupun kakak saya tidak mungkin ada di dalam tanah.

Dan puncaknya adalah kerinduan. Dengan pikiran denial yang menyelimuti saya, kemana saya bisa menebus rindu? Semua semakin menjadi abu-abu dan menjadikan saya hilang arah, tidak bertujuan.

Dan kemudian, denial dan kerinduan bertengkar hebat di kepala saya. Membuat saya hilang kendali dari diri saya sendiri. Saya disetir lelap, dan abai dengan tanggung jawab.

Bagaimana saya belajar untuk mereda pertengkaran denial dan rindu tersebut?

Dari seseorang yang kala itu berbincang dengan saya, membuat saya tertegun. Tidak ada penghakiman, tidak ada perintah, yang disampaikan cukup manis untuk dilekat dalam ingatan.

"Anggap aja, ini seperti kamu sedang mau berpergian ke suatu tempat. Sebelum berangkat, pasti kamu akan mempersiapkan barang-barang bawaan, menyiapkan baju yang hendak dikenakan, mandi dengan wewangian, atau bercermin merapikan. Nah, mungkin sekarang belum, kamu belum mengunjungi ibu dan kakak, tapi kamu seperti lagi siap-siap untuk ke sana. Mau ke sananya besok, seminggu, sebulan kemudian, atau kapanpun itu gak apa-apa, karena kamu masih bersiap-siap untuk ke sana." Begitu kurang lebih tuturnya yang terekam di kepala saya.

Tuturnya yang tenang, cukup mereda pertengkaran-pertengkaran di kepala saya. Walaupun belum bisa juga sepenuhnya saya lepas dari denial dan kerinduan. Tapi setidaknya saya punya acuan; saya sedang bersiap-siap.

Sementara itu, bagaimana dengan perjalanan 'rasa duka' kalian? Semoga kita selalu punya alasan untuk tetap bertahan.

Referensi:

https://www.choosingtherapy.com/5-stages-of-grief/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun