[caption id="attachment_225569" align="aligncenter" width="460" caption="Wamenkes RI, Prof. Ali Ghufron Mukti dan Nurul Saadah, aktivis SABDA di tengah - tengah audiensi difabel dengan Wamenkes RI"][/caption]
Yogyakarta - Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau keluarganya. Kepesertaan ini berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, sehingga SJSN dengan demikian membawa amanat untuk menciptakan kehidupan dasar yang layak bagi setiap warga negara. Dalam bidang kesehatan, SJSN akan mencakup jaminan kesehatan yang menganut prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin agar peserta (baca: semua warga negara) memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dalam upaya untuk mempersiapkan perangkat hukum mengenai pedoman pelaksanaan jaminan kesehatan, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan (Perpres Jaminan Kesehatan).
Sayang sekali, menurut Suharto, aktivis SABDA, penyusunan rancangan Perpres Jaminan Kesehatan tersebut tidak melibatkan difabel (penyandang disabilitas) sehingga konten rancangan Perpres Jaminan Kesehatan yang ada sekarang ini justru akan menciptakan kesulitan dan marginalisasi bagi kaum difabel ketika Perpres Jaminan Kesehatan disahkan dan diimplementasikan. Beberapa ketentuan yang menyulitkan di antaranya adalah aturan tentang kepesertaan dan pembayaran iuran. Pada Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 8 Rancangan Perpres tersebut disebutkan bahwa difabel yang mendapatkan bantuan iuran atau PBI hanyalah mereka yang mengalami cacat total tetap yang membuatnya tidak mampu bekerja. Berdasarkan Pasal 25 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, seharusnya semua difabel tergolong penerima bantuan iuran (PBI) dengan alasan: (1) difabilitas linear dengan kemiskinan dan oleh Kementerian Sosial kaum difabel nyata-nyata digolongkan ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS; (2) difabel sulit mendapatkan pekerjaan dan sering terdiskriminasi dalam proses seleksi maupun pengupahan; (3) kalaupun bekerja, difabel mempunyai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi daripada warga negara lainnya terutama terkait dengan kebutuhan mobilitas (transportasi), aksesibilitas, dan masalah kerentanan penyakit sebagai bawaan dari difabilitasnya. Dengan demikian, difabel rata-rata tergolong miskin dan standar kemiskinannya tidak dapat disamakan dengan standar umum penghasilan USD 2 per hari.
Hal lain dalam Rancangan Perpres Jaminan Kesehatan ini yang belum sesuai dengan aspirasi difabel adalah masalah benefit coverage yang tidak memuat secara rinci mengenai alat bantu bagi difabel serta deteksi dan intervensi dini terhadap difabilitas. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh Convention on the Rights of Persons with Disabilities, maka sebelum ditandatangani oleh Presiden, Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan ini harus direvisi dan dilakukan harmonisasi sesuai dengan CRPD dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
“ Aturan dalam rancangan perpres kurang sensitif terhadap difabel. Kedepan dalam perpres diharapkan memasukan disabilitas sebagai unsur mendapatkan bantuan iuran. Jadi selain miskin juga disabilitas tanpa harus dibatasi cacat tetap total saja yang mendapat bantuan iuran kesehatan.,” katanya Senin (31/12) saat Audiensi Komunitas Difabel dengan Wakil Menteri Kesehatan RI di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) FK UGM, Suharto menyebutkan penyusunan rancangan perpres jaminan kesehatan tidak melibatkan difabel. Alhasil aturan yang dihasilkan menjadi kurang peka terhadap kebutuhan difabel.
“ Padahal difabel adalah kelompok yang rentan terhadap penyakit dibandingkan orang normal sehingga kebutuhan akan layanan kesehatannya pun berbeda,”tambahnya. Dalam rancangan perpres jaminan kesehatan, lanjutnya, juga diharapkan dimuat mengenai deteksi dini kesehatan dan alat bantu bantu kesehatan, alat bantu mobilitas, dan alat bantu kemandirian untuk difabel . Juga lembaga independen untuk monitoring agar diatur dalam rancangan perpres. Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Ali Ghufron Mukti menyebutkan bahwa saat ini pemerintah tengah membahas kriteria penerima bantuan iuran kesehatan untuk difabel. Kriteria tersebut adalah difabel cacat total atau tidak, jenis pekerjaan, dan kondisi perekonomiannya. “Memang selama ini kriteria mendapatkan jamkesnas atas dasar ekonominya. Penerima bantuan iuran (PBI) baru miskin dan tidak miskin, difabel belum masuk. Sehingaa kalau ada difable dan miskin ya dapat pbi. Kedepan disabilitas akan diperjuangkan dalam kriteria penerima bantuan iuran kesehatan,” jelasnya.
Read more: Aturan Jaminan Kesehatan Bagi Difabel Perlu Direvisi http://www.kpmak-ugm.org/news/397-aturan-jaminan-kesehatan-bagi-difabel-perlu-direvisi.html#ixzz2GtK9pWLY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H