Mohon tunggu...
Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI
Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI Mohon Tunggu... -

Kami adalah sekelompok insan intelektual Universitas Indonesia, yang mengada atas nama cinta untuk bangsa ini, agar suatu saat nanti, tiada lagi rintihan kelaparan dan tangis pilu itu, di bawah langit nirmala Indonesia. Dengan pikir dan nalar kami, setulus-tulusnya, kami kan mencoba untuk bersinar seterang warna jaket perjuangan kami, dengan raga ini, seteguh-teguhnya juang, kami kan mencoba untuk terus berdiri di sini. Bersamamu, ya, siapapun yang tengah membaca tulisan kami, para pejuang yang padanya persada menggantungkan asa. HIDUP RAKYAT TERTINDAS INDONESIA!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dana Aspirasi Daerah : Ironi Demokratisasi di Negeri Ini

10 Juni 2010   03:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh : Avina Nadhila Widarsa, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Staf Pusat Kajian dan Stud Gerakan BEM UI 2010

Beberapa hari terakhir, media cetak maupun elektronik ramai-ramai memberitakan usulan kebijakan anggota DPR yang sangat tidak populis, yakni dana aspirasi daerah pemilihan (DAD). Mengapa usulan ini tidak populis? Sebab, usulan mengenai dana aspirasi daerah yang gencar-gencarnya didukung oleh partai berlambang pohon beringin ini, ditengarai hanya akan melegalkan korupsi berjamaah yang sangat mungkin dilakukan oleh para wakil rakyat jika mendapatkan dana Rp 15 Miliar setiap tahun untuk daerah pemilihannya. Selain itu, pemerintah melalui menteri keuangan, Agus Martowardojo dan menteri koordinator bidang perekonomian, Hatta Rajasa juga tidak sepakat dengan adanya usulan yang akan semakin memberatkan APBN ini. Alasan yang digunakan pemerintah adalah adanya dana aspirasi tersebut akan menimbulkan kerancuan anggaran, komplikasi pengalokasian dana, menimbulkan masalah administrasi di masing-masing APBD, kerumitan pada perencanaan dan implementasi, serta bermasalah dalam pertanggungjawabannya.

Dana aspirasi yang disebut-sebut menjadi suatu upaya untuk mengurangi gap pembangunan antara daerah yang maju dengan daerah yang kurang berkembang, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Alasan yang sangat simpel untuk mementahkan usulan tersebut adalah dana aspirasi yang diusulkan untuk memeratakan pembangunan daerah, nyata-nyata tidak akan bisa memeratakan pembangunan di daerah. Hal ini dikarenakan daerah pemilihan terbanyak berada di pulau Jawa, sementara jika anggota DPR ingin melakukan pemerataan pembangunan mereka seharusnya lebih memfokuskan pada daerah-daerah terpencil, yang ironisnya menjadi daerah pemilihan yang lebih sedikit sebab populasi di daerah tersebut juga sedikit.

Usulan ‘konyol’ dari anggota DPR mengenai daerah pemilihan ini sering diidentikkan dengan dana “Pork Barrel” (segentong babi) yang ada di Amerika Serikat. Praktik pengalokasian dana publik yang dilakukan oleh anggota parlemen AS dengan tujuan meraih kembali simpati para konstituennya untuk memilih mereka pada pemilu berikutnya telah menjadi hal yang lazim namun tetap menjadi kecaman di sana. Memang benar, bahwa di AS keberhasilan seorang anggota parlemen kadang kala diukur dari seberapa berhasilnya mereka memperjuangkan ‘dana aspirasi’ untuk daerahnya. Namun, apakah ini juga dapat berlaku di Indonesia?

Istilah demokrasi berharga mahal, sedikit banyak dijadikan justifikasi usulan dana aspirasi sebesar Rp 8,4 Triliun per tahun itu. Dana aspirasi daerah ini dijadikan sebagai ‘balas jasa’ dari anggota DPR kepada konstituen yang telah memilih mereka. Di negara demokrasi, siapa yang paling memberikan keuntungan bagi para konstituen tentu mereka yang akan dipilih kembali pada pemilu berikutnya. Dengan adanya dana aspirasi daerah, diharapkan para konstituen menikmati keuntungan langsung dari wakilnya di parlemen.Namun, apakah itu esensi dari demokrasi yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini? Demokrasi dari uang, untuk uang, kepada uang?

Seyogyanya esensi dari pemilihan umum adalah untuk memilih wakil rakyat yang diharapkan bekerja sepenuh hati untuk rakyat. Jikalau dana aspirasi daerah akan benar-benar dipergunakan untuk membangun daerah pemilihan, mungkin boleh saja para wakil rakyat itu bersikukuh untuk mempertahankan usulan ini agar menjadi kebijakan. Masalahnya track record DPR kita yang sangat buruk dalam hal transparansi dan akuntabilitas keuangan membuat masyarakat tidak percaya akan kemampuan mereka mengelola dana aspirasi tersebut. Selain itu, dalam fungsi budgetingnya, anggota DPR memang bukan pada tempatnya untuk mengelola anggaran, sebab pengelolaan anggaran hanya dilakukan oleh pihak eksekutif (pemerintah pusat dan daerah). Jadi, jelas sekali bahwa mereka yang mengusulkan dana ini tidak paham arti demokrasi sesungguhnya, ketika mayoritas rakyat menuntut mereka untuk menyejahterakan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan politik semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun