Mohon tunggu...
Pusairi
Pusairi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sosiologi, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sumber Hukum Indonesia Dalam Kebijakan Pembatasan Sosial Ditengah Pandemi

11 Juni 2020   22:40 Diperbarui: 11 Juni 2020   22:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang sudah kita ketahui, pandemi Covid-19 memiliki konsekuensi logis terhadap beberapa kebijakan yang mulai dibuat oleh pemerintah guna memutus rantai penyebaran virus ini. Namun, berbagai kebijakan akan terlegitimasi apabila ada sumber hukum yang dipakai agar kebijakan tersebut memiliki “nyawa” dan dapat ditaati oleh masyarakat. beberapa sumber hukum yang kemudian mendukung kebijakan-kebijakan ini yaitu Peraturan Perundang Undangan. Peraturan Pemerintah, hingga Fatwa para ulama dalam merespon berbagai pertanyaan-pertanyaan hukum islam dari masyarakat atas kebijakan yang diambil, terlebih kebijakan tersebut, membatasi aspek peribadatan. Pertauran Perundang Undangan merupakan dasar hukum yang paling fundamental, sebab di Indonesia sendiri segala bentuk kebijakan dan peraturan yang dibuat harus merujuk pada perundang-undangang yang berada diatasnya. Kebijakan mengenai karantina wilayah misalnya, merupakan dasar yang dipakai pemerintah untuk penerapan kebijakan Lockdown untuk kemaslahatan masyarakat.

Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dikutip dari Jogloabang.com salah satu isinya menyatakan “Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di sekitarnya”[1]. Tidak hanya pada poin isi dari yang disebutkan tadi, peraturan perundang-undangan ini memiliki butir-butir poin yang mengatur mengenai kekarantinaan kesehatan.

Sumber hukum selanjutnya adalah peraturan pemerintah, terkait kebijakan peraturan pemerintah ini dalam beberapa aspek memiliki perbedaan dari daerah satu ke daerah yang lain sesuai kebutuhan dan urgensi kebijakan tersebut dengan tetap terintegrasi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sebab kondisi dari intesitas penyebaran Covid-19 tiap daerah ini berbeda yang kemudian menyebabkan kebutuhan-kebutuhan kebijakannya juga berbeda tiap daerah. Salah satu contohnya dikutip dari Nurhalimah (2020), Kebijakan lockdown yang diberlakukan oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan nomor 5 tahun 2020 tentang Peniadaan Sementara Kegiatan Peribadatan dan Keagamaan Di Rumah Ibadah Dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah corona virus disease (COVID-19). Dalam seruan ini pemerintah menyampaikan peniadaan kegiatan peribadatan dan kegiatan keagamaan lainnya yang mengumpulkan orang banyak yang dilaksanakan di Masjid, Gereja, Pura, Wihara, Klenteng dan tempat ibadah lainnya termasuk diantaranya ibadah shalat jumat, kebaktian, ibadah dan misa minggu, majelis taklim, perayaan hari besar dan lain-lainnya[2]. Berdasarkan pada kebijakan ini, maka kondisi peribadatan termasuk umat islam di Jakarta haru sesuai dengan regulasi-regulasi yang telah diterapkan, dengan kata lain maka sebisa mungkin suatu hal yang merujuk pada kerumunan harus dihindari termasuk shalat berjamaah.

Dan terakhir yakni Fatwa Ulama, dalam islam fatwa sangat dibutuhkan apabila suatu kebijakan menyinggung permasalahan agama agar segala bentuk pertanyaan-pertanyaan dalam dikotomi antara hukum-hukum islam dan kebijakan yang diambil pemerintah dapat terpecahkan. Al-Fayumi dalam Suhartono (2017) mengemukakan bahwa, “al-fatwa berasal dari kata al-fata, artinya pemuda yang kuat”. Sehingga, orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda[3]. 

Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia merupakan pihak yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa sebagaimana dijelaskan Oleh Suhartono pada jurnal yang sama bahwa Kewenangan MUI sebagai pemberi fatwa tidak terlepas dari fungsi MUI yang ditentukan dalam Pasal 4 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MUI, yakni sebagai berikut Majelis Ulama Indonesia berfungsi: Pertama Sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami, Kedua Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah Islamiyah, Ketiga Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama, dan Keempat Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta. 

Salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dalam merespon permasalahan pada tulisan ini yaitu Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang salah satu ketentuan umumnya yaitu Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). Fatwa ini mengindikasikan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang sesuai kebutuhan dari tiap-tiap daerah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jogloabang, “UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan”, https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-6-2018-kekarantinaan-kesehatan (diakses pada 31 Mei 2020, pukul 21:16)

2. Neneng Nurhalimah, “UPAYA BELA NEGARA MELALUI SOSIAL DISTANCING DAN LOCKDOWN UNTUK MENGATASI WABAH COVID-19”, Papers.ssrn April 2020, hal.4.

3. Slamet Suhartono, “Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif Negara Hukum Pancasila”, Jurnal Al-Hikam Vol. 12 No.2 Desember (201 7), hal.453.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun