Kebenaran tidak dapat dipisahkan dari keadilan. Bila yang benar dikatakan benar. Maka ini adil. Bila yang dikatakan benar dikatakan tidak benar, maka ini tidak adil.
Kebenaran yang hakiki sulit disimpulkan dalam suatu pandangan yang seragam, karena sifat manusia yang juga beraneka ragam. Kebenaran yang dikeluarkan tergantung pada manusianya. Karena tiap manusia mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat tentang kebenaran itu. Hal yang berpengaruh besar pada diri manusia adalah 'faktor aku'. Dan 'aku' ini di dalamnya mengandung hasrat untuk 'berkuasa' dan 'harga diri'. Juga tidak kalah pentingnya adanya hasrat 'menyelamatkan diri' atau dengan bahasa halusnya faktor 'menyesuaikan diri' dengan keadaan di sekelilingnya untuk tetap 'ingin dianggap hidup'. Dengan kata lain kebenaran itu (di dunia ini) selalu dikaitkan dengan 'kekuatan', 'prestige', situasi dan waktu serta masanya, atau masyarakat sekelilingnya.
Cerita dari seorang lulusan APDN yang bertugas di suatu desa yang masyarakatnya berjudi, peminum minuman keras. Dia terpaksa 'ikut' berjudi dan minum ciu (alkohol dari tape) demi untuk menyelamatkan dirinya, atau bahkan untuk karir masa depannya.
Seorang pegawai yang dapat melayani 'bermain catur' kesukaan atasannya, cepat dapat promosi karena dia dianggap dapat menyesuaikan dirinya dengan yang kebetulan 'pecandu catur'. Padahal mungkin bermain caturnya dalam jam kerja, yang justru sangat tidak tepat.
Mode pakaian yang 'tidak tepat untuk rasa susila' timur pun dapat dianggap 'baik' bila seluruh masyarakat mode menerimanya, dengan mau memakainya tanpa pertimbangan 'rasa susila'.
Kebenaran yang dilatarbelakangi oleh 'kekuasaan atasan' atau 'kelumrahan masyarakat' ini, biasanya tidak abadi dan labil, 'mudah goyah. Tergantung 'umur kekuasaan' dan situasi masyarakat.
Beruntunglah manusia makhluk ciptaan Tuhan ini dibekali semacam pertimbangan halus yang bernama 'budi nurani', sehingga inilah yang merupakan petunjuk halus dalam pribadinya yang selalu bergema, manakal ia akan melangkah dan mengambil keputusan. Budi nurani inilah yang seringkali bergema menjadi 'prinsip hidup' dan berteriak manakala keadaan yang dihadapi bertentangan dengan sisikan di dalam pribadinya. Dia akan bergema manakala nuraninya tidak tersalur dengan sebenarnya, dia akan berteriak keras-keras agar didengar nuraninya.
Dengar 'jeritan'
Banyak pemimpin bangsa kita yang masuk keluar penjara karena memperjuangkan nurani rakyatnya yang tertindas pada masa penjajahan dulu.
Memang ironisnya 'kebenaran hakiki' atau kebenaran 'nurani' bergema pada hati manusia yang tertindas, yang miskin, yang tidak dapat berbuat apa-apa, yang dalam kesusahan dan menderita.
Di sinilah mungkin jurang pemisah yang perlu dipikirkan jalan tembusnya, agar pemimpin yang berkuasa dapat mendengar jeritan umatnya yang menderita. Sangat didambakan suasana di mana para pemimpin selalu mendengarkan jeritan rakyatnya, sehingga kekuasaannya dipergunakan untuk menggemakan jeritan rakyatnya.