19 Desember 2003 Pada waktu itu aku belum punya handphone, kalaupun punya tak akan dibawa ke kelas waktu mengajar Dipanggil dari kelas untuk menerima telephone di jam pertama, tumben, katanya ada yang penting Telephone dari Wates, adikku berkata via telephone kantor sekolah "Mas, bapak" katanya adikku "Ya ? Kenapa ?" komentarku "Bapak ga ada" lanjut adikku "Ga ada gimana ?" tanyaku. Terdengar adikku menangis "Bapak wis kapundhut" jawabnya kemudian "Oh.... Oke, aku bali" lanjutku. Telephone kututup Lemes dan duduk lama di ruang kepala sekolah Sekarang 19 Desember 2013, tepat 10 tahun yang lalu Memory yang tak akan pernah terlupakan Rasa dan nuansa-nya masih bisa diingat benar RIP Bapakku, idola-ku
Dari pandangan yang berbeda, dari anak-anakku kepada kakeknya, memiliki nuansa lain :
Adanya peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun sampai dengan 1000 harinya di luar hari raya Natal dan Lebaran, membuat pengalaman anak naik kendaraan semakin banyak frekuensi baik pengalaman naik bus maupun kereta api untuk
Kesan kehangatan antara cucu dengan kakeknya ditunjukkan dengan sambutan dan peluk dan cium yang masih bisa dirasakan kegelian karena janggut simbah yang dicukur.
Pertanyaan penting – penting – nggak penting, tapi justru dari hal yang sangat sederhana itu terpancar kasih yang hangat dan megah, membuat perjalanan selama 5 jam itu hilang rasa lelahnya
Bahkan pertanyaan kakeknya yang tak pernah absen masih diingatnya : "mau numpak cah bagus numpak bis opo sepur ? mlakune buunter opo ora?"
Kakek memang selalu ingin dekat dengan cucunya, dengan berbagai cara ….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H