Pernah pula ada pernyataan bahwa semua arsiparis Belanda adalah sejarawan. Mereka mencatat dan menulis, akhirnya menghasilkan sejumlah buku dari 6 tangan arsiparis Belanda yang pernah di sana dari 1892 sampai 1951, seperti van Chijs, de Haan, Molsbergen, Verhoeven, Coolhass, dan Hoogendijk.
Pada masa pimpinan Ibu Soemartini, ditetapkan satu landasan kerja yang penting dalam kearsipan dengan disahkannya UU No. 7 tahun 1971 tanggal 18 Mei 1971 tentang Ketentuaan-ketentuan Pokok Kerasipan. Ada dua kepentingan pokok dalam undang-undang itu. Pertama, menyelamatkan bahan bukti mengenai kehidupan berbangsa (arsip statis). Kedua, penyempurnaan administrasi aparatur negara, singkatnya adalah tentang bagaimana menyusun/menata arsip dinamis, yang masih berlangsung hingga sekarang. Belum lagi jika kita masuk pada UU No.43 Tahun 2009, dinamika apa yang berlangsung dengan berlakunya UU tersebut. Sepintas lalu, tidak jauh berbeda antara UU ini dengan sebelumnya. Jika begitu apakah kemungkinan UU No.43 ini hanya menjadi bentuk copy/paste dari UU No. 7, dimana seharusnya penekanan lebih pada bagi organisasi lebih pada nilai Compliance dan Legal. Tapi ini pertanyaan lain lagi kiranya.
Maka pertanyaan yang kemudian muncul dari penutup tulisan ini perlu dielaborasi dan dipertajam lagi. Agen tunggal, ganda, multi dalam tata kelola informasi, manajemen informasi, arsitektur informasi, dan manajemen mutu seperti apa yang memang benar-benar perlu dikuasai oleh arsiparis pada industri 4.0. Kemana kita bisa benar-benar bersandar, guna untuk mendekati kebenaran. Apakah cukup atas dasar ketakutan-ketakutan saja? CMIIW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H