Senang sekali rasanya ketika saya mendapatkan sebuah artikel. Artikel apa kiranya yang bisa membuat senang? Sebuah tulisan tentang "kegalauan" arsiparis dan revolusi industri 4.0, yang bisa menjadi enlightment sekaligus memumunculkan beragam pertanyaan kritis bagi kita.
Pertanyaan yang menarik dan perlu digaris bawahi, secara garis besar ketika diajukan tentang inisiatif apa yang seharusnya dilakukan oleh arsiparis dalam konteks revolusi digital 4.0. Apakah profesi arsiparis perlu menerima dan merespon tantangan yang dihadapi dalam fase industri 4.0 ini. Apakah ada kebutuhan revolusioner untuk mengelola dan melestarikan arsip digital atau stagnan saja, tidak perlu menerima tantangan karena kondisi saat ini sudah cukup nyaman untuk mengelola arsip konvensional -atau loncatan itu terlalu cepat, belumlah apa yang dikerjakan sekarang berjalan dengan stabil dan ditantang untuk merakukan perubahan lagi, tidak mudah?
Karena berangkat dari pertanyaan kritis yang tanpa dasar, mohon dimaklumi jika komentarnya juga melebar kesana kemari. Semoga tetap ada makna di balik itu semua..he..he..
Sangat menarik jika kita coba selami secara lebih mendalam, boleh kiranya mundur sekitar 25 tahun yang lalu untuk mendapatkan dinamika situasinya. Jika mengutip pernyataan Dr Nurhadi Magetsari (ketika itu merupakan Kepala Arsip Nasional, (dimuat dalam KOMPAS edisi Senin 30 Desember 1991) dalam rangka persiapan peringatan 100 tahun Arsip Nasional yang ketika itu jatuh pada 28 Januari 1992.Â
Disebutkan, bahwa poinnya (ketika itu) adalah pada sikap kita yang belum memprioritaskan kearsipan. Padahal, arsip adalah dokumen sejarah pemerintahan suatu bangsa. Arsip merupakan sumber primer perjalanan hidup suatu bangsa yang terekam. Pertanyaan selanjutnya jika berpijak pada hal tersebut -agar kita bisa sedekat mungkin dengan situasi zaman dan tidak menjadi orang yang terjebak pada ketakutan-ketakutan semu atau terlalu mengawang.
Sejauh manakah lompatan itu bisa dan mungkin terjadi  didasarkan pada kenyataan ini -masa itu dengan masa Industri 4.0 tersebut, dimana waktunya juga belum terlalu jauh terlewati.  Dinyatakan secara mendasar, bahwa masyarakat kita belum memprioritaskan arsip -ketika itu kebudayaan masyarakat kita masih diklaim illiterated, budaya baca belum tumbuh, tapi sekarang juga entahlah. Sehingga yang terjadi adalah kurang adanya penghargaan pada data tertulis. Nah, sekarang kita dituntut untuk menguasai segala rupa kecapan arsiparis dalam konteks revolusi digital -data digital, informasi digital, media sosial dst.
Mungkinkah itu dilakukan arsiparis dan mungkinkah masyarakat umum kita bisa menerimanya?
Di satu sisi Dr Nurhadi Magetsari, juga menyatakan bahwa "Tidak  bisa dibayangkan kalau ingatan itu tidak terekam lagi secara lisan apalagi tertulis. Eh.. Tak perlu menunggu terlalu lama ternyata hal tersebut benar saja terjadi saat ini.  Jadi ada kemungkinan kita perlu berlari sangat cepat, agar sampai sebelum tergilas. Jika ia, bagaimana caranya. Mungkin mencontoh yang ada. ATM (amati, tiru dan modifikasi, apakah ini dilarang atau haram, entahlah. Biarlah moral feeling anda yang menjawabnya masing-masing.
Jika kita mundur lebih jauh lagi, misalnya pada masa Keraton-keraton di Yogyakarta atau Surakarta, pada kenyataanya mereka juga mempunyai kebiasaan menyimpan data tertulis masa itu. Dari mana datangnya ATM. "Mereka belajar dari penjajah, mereka belajar memberikan bukti lewat pencatatan tertulis." Â
Namun perlu pula diwaspadai, memang benar Mc Kinnon telah menunjukkan pada kita bahwa dunia arsiparis mengalami perubahan yang luar biasa dalam tatanan praktik dengan adanya kemajuan yang luar biasa dalam TIK. Namun hal kritis yang perlu kita perhatikan kembali sejauh mana itu sudah bisa diimplementasikan. Agar tidak terjadi lompatan-lompatan sporadis, yang pada ujungnya bukan lagi menjadi inovasi malahan sebaliknya lebih bersifat destruktif dan merusak proses tatanan yang sedang bertumbuh, menjadi semacam kekalutan dan kebingungan bagi teori dan praktik kearsipan di Indonesia. Kita benar-benar perlu mencari dan mengerti bagaimana berlangsungnya dinamika kearsipan di Indonesia.
Contoh lain, berdasarkan peristiswa penetapan pejabat arsiparis (petugas arsip) di Indonesia, Mr J.A. van de Chijs tanggal 28 Januari 1892. Bertepatan pula dengan berdirinya Arsip Hindia Belanda, sebagai organisasi pemerintahan yang bertugas pokok mengelola arsip statis Pemerintah Hindia Belanda dan arsip statis VOC. Kemudian pada masa Pendudukan Jepang berubah menjadi Kobunsyokan di bawah pengawasan Bunkyo Kyoku. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan nama Arsip Negara, dan berganti-ganti, sampai akhirnya pada tahun 1967 ditetapkan menjadi Arsip Nasional Republik Indonesia selaku lembaga pemerintah nondepartemen.