Mohon tunggu...
Purwanti Asih Anna Levi
Purwanti Asih Anna Levi Mohon Tunggu... Sekretaris - Seorang perempuan yang suka menulis :)

Lulusan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) UNIKA Soegijapranata Semarang dan sedang belajar menulis yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Inovasi untuk Meningkatkan Nilai Tambah Singkong

24 Maret 2015   14:15 Diperbarui: 4 April 2017   16:23 3907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_405065" align="aligncenter" width="600" caption="Foto:Kompas.com"][/caption]

Singkong dipandang sebelah mata

Singkong (Manihot esculenta) merupakan tanaman asli Brazil dan Paraguay. Tanaman singkong mulai dibudidayakan di Indonesia pada sekitar tahun 1810 setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16. Meskipun sudah ratusan tahun ada di Indonesia, hingga kini singkong masih seringkali dipandang sebelah mata oleh banyak pihak bahkan oleh petaninya. Singkong diberi stigma sebagai tanaman kurang berkelas. Umumnya petani belum membudidayakan tanaman singkong secara serius, di mana singkong hanya ditanam sebagai tanaman tumpang sari atau kebun sela.

[caption id="attachment_357174" align="aligncenter" width="361" caption="dok. infobyl.blogspot.com dan pikiran-rakyat.com"]

1427175777991539291
1427175777991539291
[/caption]

Kandungan singkong

Meskipun hanya dianggap sebagai tanaman kelas “ndeso”, namun sebenarnya kandungan gizi singkong cukup baik. Kandungan utama singkong adalah pati dengan sedikit glukosa sehingga rasanya sedikit manis. Singkong juga mengandung beberapa kelompok vitamin B-kompleks yang berharga seperti folat, thiamin, piridoksin (vitamin B-6), riboflavin, dan asam pantotenat. Dalam singkong juga terdapat beberapa mineral penting seperti seng, magnesium, tembaga, besi, mangan dan kalium. Kalium merupakan komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengatur denyut jantung dan tekanan darah.

Menurut pakar tanaman obat, Profesor Hembing Wijayakusuma, efek farmakologis dari singkong adalah sebagai anti oksidan, anti kanker, anti tumor, dan menambah napsu makan.

Inovasi singkong sebagai sumber energi alternatif

Singkong dapat menjadi sumber bioethanol. Bioethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, seperti singkong, dengan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Tepung singkong yang diolah melalui proses liquifikasi, sakarifikasi, fermentasi dan distilasi (penyulingan) akan menghasilkan cairan yang mengandung alkohol/ethanol berkadar rendah antara 7-10%. Kemudian alkohol/ethanol tersebut diproses pemurnian dengan alat dehidrator. Hasil akhirnya berupa ethanol berkadar 99,6-99,8% sehingga dapat dikategorikan sebagai Full Grade Ethanol (FGE) yang sesuai standar Pertamina.

[caption id="attachment_357162" align="aligncenter" width="528" caption="dok.htysite.com"]

1427173953937253751
1427173953937253751
[/caption]

Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras, bahan dasar industri farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Di Indonesia inovasi ini telah dilakukan oleh Balai Besar Teknologi Pati Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lampung sejak tahun 1980. Sedangkan di luar negeri sejumlah negara pengimpor minyak mentah mulai sibuk mengembangkan bio energi dari singkong untuk mengurangi konsumsi minyak bumi yang persediaannya semakin sedikit.

Inovasi kuliner berbahan singkong

Selama ini singkong umumnya hanya diolah menjadi kripik, ketimus, opak, singkong goreng ataupun singkong rebus. Untuk meningkatkan nilai tambah singkong, beberapa warga Salatiga melakukan inovasi kuliner berbahan singkong. Setelah melakukan berbagai eksperimen, terciptalah produk kuliner inovatif berbahan singkong, seperti getuk, criping singkong presto, singkong keju, dsb. Sekarang inovasi tersebut telah dapat menaikkan kelas singkong dari makanan kelas “ndeso” menjadi oleh-oleh khas Salatiga yang cukup dikenal.

Getuk kethek

Getuk tradisional yang dikelola Mbah Suwarni ini dikemas dengan label “Getuk Satu Rasa”, namun lebih dikenal dengan nama getuk kethek (getuk monyet). Hal itu karena Mbah Suwarni kebetulan memelihara seekor kethek (monyet) yang dikandangkan di halaman depan rumahnya. Gethuk kethek yang rasanya gurih dan teksturnya lembut ini merupakan perpaduan yang pas dari singkong, kelapa parut, gula pasir dan garam. Getuk ini diproses tanpa menggunakan bahan pengawet, tanpa zat pewarna maupun zat kimia lainnya. Karena tanpa bahan pengawet getuk ini hanya tahan sekitar 6 jam.

[caption id="attachment_357163" align="aligncenter" width="457" caption="dok. getuksaturasa.blogspot.com, radenmaskuliner.blogspot.com, citizen6.liputan6.com"]

14271740902122206576
14271740902122206576
[/caption]

Criping singkong presto

Criping atau kripik singkong ini dimasak dengan 2 kali penggorengan dan finishing dimasak menggunakan kayu bakar. Criping ini ada berbagai rasa antara lain original, pedas, bawang dan keju.

[caption id="attachment_357164" align="aligncenter" width="478" caption="dok. ya-aya.com dan jualo.com"]

1427174191926751413
1427174191926751413
[/caption]

Singkong keju

Singkong keju yang memakai label Singkong Keju D-9 ini merupakan hasil kreasi dari Ibu Diah Kris. Singkong keju ini dijual masih setengah matang dan harus dimasak dahulu sebelum dapat disantap. Dalam kemasan disertakan petunjuk cara pengolahannya yaitu dengan cara dikukus, digoreng atau dioven. Singkong keju ini rasanya cukup lezat, ada rasa gurih, manis dan beraroma keju.

[caption id="attachment_357165" align="aligncenter" width="481" caption="dok. plus.google.com dan fedep.salatigakota.go.id"]

14271742631135881677
14271742631135881677
[/caption]

Inovasi meningkatkan pendapatan petani

Kuliner singkong yang mulai disukai masyarakat berpengaruh positif pada nasib petani singkong di Salatiga. Harga singkong naik, yang tadinya hanya Rp 2.000 menjadi Rp 4.000 per kilo. Untuk menjaga ketersediaan bahan baku agar kapasitas produksi tidak terganggu, para wirausahawan kuliner singkong mulai menyewa lahan tidur dan mempekerjakan banyak petani, sehingga menambah pendapatan petani. Ini merupakan salah satu contoh model ekonomi kreatif dan inovatif dengan cara mengolah sumberdaya yang nilainya rendah menjadi produk berkualitas yang bernilai ekonomi tinggi.

Salam go green!

***********

BACAAN:

http://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon

http://www.indobioethanol.com/

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/singkong-keju

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun