Pada Mei 2008 saya mendapat undangan dari St. Scholastica College Manila untuk mengikuti pelatihan ecofeminism di Philippines. Selama 15 hari saya berkunjung ke Philippines. Dua belas hari dihabiskan untuk ikut pelatihan di Women and Ecology Wholeness Farm di Mendez Cavite, kira-kira 70 km arah selatan Manila. Dan 3 hari sisanya untuk jalan-jalan bersama 19 peserta lain yang berasal dari berbagai negara. Cerita jalan-jalan nanti akan tuliskan dalam artikel lain (*semoga tidak lupa nulisnya hihihi.....). Sekarang saya akan mengenang perjalanan menarik mengunjungi kampung suku Aeta, suku kerdil di daerah terpencil di pegunungan Pampanga, 4 jam perjalanan dari Manila.
Perjalanannya
Berangkat pagi dari Manila, kami naik kereta dan turun di stasiun San Jose, dilanjutkan naik bis kira-kira 1 jam perjalanan, lalu masih dilanjutkan lagi dengan naik jeepney sampai di suatu pasar tradisional, di situ kami dijemput oleh Pastor Andy, seorang pendeta di sebuah gereja yang melayani suku Aeta. Kami akan menginap semalam di gereja itu. Kami naik jeepney milik gereja kira-kira 2 jam perjalanan, melewati padang savana dan 2 kali menyeberang sungai berbatu-batu yang belum ada jembatannya (*serasa ikut off road).
Di perjalanan kami tertawa-tawa geli saat melewati desa-desa kecil dengan nama-nama yang keren banget, seperti desa San Fransisco, San Diego, San Jose dsb. Mungkin nama-nama itu berasal dari bahasa Spanyol yah.....entahlah. Tapi jadinya serasa sedang di Amerika hihihi.....
Sejarah Suku Aeta
Suku Aeta merupakan salah satu suku kerdil di bumi. Suku Aeta dipercaya merupakan keturunan dari penduduk paling awal di kepulauan itu Philippines. Mereka tiba 30.000 tahun yang lalu melalui hubungan teritorial dengan Asia daratan. Tapi kehadiran mereka terdesak oleh beberapa gelombang imigran dari Taiwan, Borneo, diikuti oleh masyarakat maritim dari Malaya dan beberapa bangsa-bangsa Austronesia lainnya. Akhirnya mereka tersingkir dari peradaban modern, menjadi suku minoritas dan tinggal di pedalaman Highland Luzon yang terpencil, tepatnya di Mabalaot Pampanga.
[caption id="attachment_351305" align="aligncenter" width="259" caption="Ketika saya ke sana bangunan ini belum ada (dok.panoramio.com)."][/caption]
Penampilannya
Perawakan orang Aeta sangat pendek, kulit gelap, rambut keriting, mata hitam bulat. Karena penampilannya itu, mereka disebut Negritos yang dalam bahasa Spanyol berarti “orang kulit hitam yang kecil”. Orang Aeta dewasa tingginya cuma sekitar 125 – 140 cm. Ketika ada seorang ibu-ibu Aeta berdiri di samping saya, ternyata tingginya tidak mencapai pundak saya, padahal tinggi saya hanya 160 cm. Mereka memang kelihatan mungil banget.
Saat kami datang saya lihat mereka hampir semuanya memakai pakaian yang kedodoran, agaknya pakaian itu berasal dari sumbangan masyarakat lewat gereja. Tapi ada juga yang mengenakan pakaian tradisional berupa cawat (laki-laki) dan kain kemben (perempuan). Saat melihat mereka, saya hampir-hampir tidak bisa membedakan mana yang remaja atau yang dewasa, karena mereka rata-rata bertampang baby face.
[caption id="attachment_351311" align="aligncenter" width="360" caption="dok.www.cgstock.com"]
Ketika itu ada seorang anak laki-laki yang saya lihat sedang naik tangga bambu untuk membetulkan atap rumahnya yang bocor. Tanpa sadar saya berteriak agar dia hati-hati, karena saya mengira dia seorang anak balita, lha perawakannya hanya sebesar anak TK di sini. Namun pengurus gereja yang mendampingi kami bilang, anak itu sudah dewasa, usianya 22 tahun. Walaah.....tiwasane saya ngomong kepadanya dengan cara seperti ngomong ke anak kecil.
Cara hidupnya
Dulunya suku Aeta hidup nomaden dan berburu. Sekarang mereka bertani, beternak unggas dan kambing, memancing dan menanam jamur. Mereka juga pandai meramu obat-obat herbal. Suku Aeta terkenal terampil membuat barang kerajinan seperti penampi, tikar, gelang, jas hujan daun palem, dan alat musik yang terbuat dari bambu yang mereka jual ke kota dengan cara menitipkan pada para pengurus gereja.
[caption id="attachment_351313" align="aligncenter" width="384" caption="Kerajinan suku Aeta (dok.ph.news.yahoo.com)."]
Saat itu di sana tidak ada sekolah formal, gerejalah yang mengajari mereka baca, tulis dan bahasa Inggris, sehingga selain menggunakan bahasa asli suku, mereka sudah bisa berbahasa Inggris.
Rumahnya
Rumah mereka kecil dan pendek sekali, saya yang mencoba masuk harus membungkuk saat melewati pintunya. Di dalamnya hanya ada tempat tidur beralas tikar. Ada sebagian orang Aeta yang masih tinggal di rumah asli yang terbuat dari anyaman dan beratap rumbia, ada juga yang sudah tinggal di rumah batako bantuan pemerintah. Semua rumah ukurannya sangat mungil, hanya sekitar 4 x 4 meter.
[caption id="attachment_351302" align="aligncenter" width="420" caption="Rumah asli suku Aeta (dok.bongtanedo.blogspot.com)."]
Mereka memasak di teras rumah dengan kayu bakar. Lucunya pancinya digantung dengan tiang berkaki 3, mirip orang sedang berkemah. Setiap hari mereka makan umbi-umbian, ikan dan sayuran, nasi dimakan hanya pada saat tertentu saja misalnya saat pesta. Di sana belum ada listrik, untuk penerangan menggunakan lampu minyak. Genset hanya ada di gereja. Mereka tidak punya sumur, sehingga mandi di sungai. Air untuk masak dan keperluannya lain juga mereka ambil dari sungai. Airnya sangat jernih dan sejuk. Kami juga mandi di sungai bareng mereka. Saat mandi dan keramas mereka tidak pakai sabun dan shampoo, tapi menggunakan sejenis daun yang wangi dan berbusa untuk menggosok badan dan rambutnya. Mungkin karena itu sungainya tetap bersih tidak tercemar bahan kimia.
[caption id="attachment_351308" align="aligncenter" width="360" caption="Seorang anak perempuan Aeta sedang mandi di sungai (dok.kwekudee-tripdownmemorylane.blogspot.com)."]
Seni dan pakaian tradisionalnya
Pakaian tradisional suku Aeta berhubungan erat dengan keyakinan spiritual mereka. Kebanyakan pakaiannya berwarna merah yang menurut keyakinannya untuk menarik perhatian dewa agar dewa melindungi mereka. Tapi ada juga yang memakai warna mencolok lain seperti biru.
[caption id="attachment_351301" align="aligncenter" width="382" caption="Tarian suku Aeta (dok.kwekudee-tripdownmemorylane.blogspot.com)."]