Oleh. Muhammad Eko Purwanto
Kecerdasan tubuh adalah konsep yang telah menarik perhatian para filosof, ilmuwan, dan praktisi kesehatan selama berabad-abad. Al-Ghazali, seorang pemikir besar dalam tradisi Islam, telah meninggalkan kita dengan wawasan mendalam tentang hubungan antara tubuh dan jiwa. Dalam konteks ini, pemahaman tentang tubuh sebagai entitas yang mampu menyembuhkan dirinya sendiri adalah gagasan yang patut dipertimbangkan. Dolores Cannon mengamati bahwa "Tubuh adalah mesin ajaib yang diciptakan untuk menyembuhkan dirinya sendiri jika kita tidak ikut campur."Â Pernyataan ini mengajak kita untuk merenungkan keterhubungan antara kebijaksanaan Al-Ghazali dan perspektif modern tentang penyembuhan diri.
Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Ihya Ulum al-Din, sering membahas hubungan antara tubuh dan jiwa. Dia menekankan bahwa kesehatan jasmani sangat bergantung pada kesehatan rohani. Jika jiwa dalam keadaan damai dan seimbang, tubuh cenderung mengikuti dan memperlihatkan tingkat kesehatan yang optimal. Dalam pandangannya, penyembuhan dimulai dari dalam, dari kedamaian batin dan keseimbangan emosional.
Ketika kita merenungkan pandangan ini, kita dapat melihat keterkaitannya dengan konsep tubuh sebagai mesin penyembuh yang disinggung Dolores Cannon. Tubuh memiliki kecerdasan bawaan yang luar biasa. Setiap sel dalam tubuh kita nampaknya tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi ketidakseimbangan atau cedera. Ini adalah bukti bahwa ada suatu sistem yang tertata rapi yang secara otomatis diarahkan untuk memperbaiki dan menjaga kelangsungan hidup.
Namun, dalam kebijaksanaan Al-Ghazali mengingatkan kita bahwa intervensi kita yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan alami ini. Pemahaman modern tentang psikoneuroimunologi - bagaimana pikiran kita mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ? - tampaknya mendukung pandangan ini. Ketika kita terlalu cemas, stres, atau mengalami gangguan emosional, kita sebenarnya menghambat proses alami penyembuhan tubuh.
Dolores Cannon merujuk pada fenomena ini ketika dia menyatakan bahwa kita sering kali "ikut campur". Dengan kebanyakan intervensi medis, minat yang mendalam pada obat-obatan kimia, atau bahkan pola pikir yang terlalu analitis, kita mengalihkan diri dari mendengarkan kebutuhan sejati tubuh kita. Tubuh, seperti yang dikatakan oleh banyak penganut kebijaksanaan Timur, meminta kita untuk mendengarkan, bukan mengontrol.
Kita dapat melihat tubuh sebagai cermin dari pikiran dan jiwa. Ketika Plato berkata, "Jiwa manusia seperti kereta yang ditarik oleh dua kuda, satu hitam dan satu putih," dia memberi kita gambaran tentang kontras dan kompleksitas dalam diri manusia. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan kita, termasuk kesehatan kita, sering kali adalah hasil dari konflik dan keseimbangan antara berbagai aspek dalam diri kita.
Mengikuti alur pemikiran ini, latihan meditasi dan refleksi batin bisa dilihat sebagai cara untuk mendukung kecerdasan penyembuhan tubuh. Al-Ghazali menempatkan nilai yang sangat tinggi pada dzikir dan doa sebagai sarana untuk mencapai ketenangan jiwa. Ketika pikiran kita jernih dan terfokus, tubuh dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa gangguan dari kecemasan yang berlebihan atau pola pikir negatif.
Melalui refleksi ke dalam, kita dihimbau untuk mempercayai kemampuan tubuh untuk melakukan pekerjaan penyembuhan secara alami. Tentu saja, ini bukan berarti menolak seluruh intervensi medis, tetapi lebih kepada mempercayai keseimbangan antara ilmu dan intuisi, antara modernitas dan tradisi. Menurut Aristoteles, kebajikan adalah keseimbangan, dan ditemukan dalam keseimbanganlah kekuatan penyembuhan sejati terletak.
Ketika kita menghargai keterhubungan antara kesehatan fisik dan kesejahteraan emosional, kita juga mendekati pemahaman bahwa kesehatan adalah keadaan holistik. Bagaimana kita mencapai keseimbangan ini akan bervariasi bagi setiap individu, namun kasih kepada diri sendiri dan penerimaan mungkin merupakan langkah awal yang penting.