Oleh. Muhammad Eko Purwanto
Risiko ketidakjujuran akademik di dunia pendidikan Indonesia menjadi sorotan penting yang perlu dibahas dengan jujur dan mendalam. Pendidikan sejatinya adalah fondasi untuk membangun masyarakat yang beradab dan berpengetahuan, tetapi ketika bangunan itu retak oleh praktik ketidakjujuran, dampaknya bisa sangat merusak. "Tujuan dari pendidikan seharusnya adalah mengajari kita bagaimana berpikir, daripada apa yang harus dipikirkan," kata filsuf John Dewey. Jika kita hanya mencari cara untuk memangkas jalan atau mencari pintasan, kita kehilangan esensi dari berpikir kritis dan refleksi yang seharusnya diajarkan dalam lembaga pendidikan.
Pemberian gelar doktor honoris causa misalnya, seringkali menjadi polemik tersendiri. Gelar ini seharusnya menjadi penghormatan atas kontribusi luar biasa seseorang dalam bidang tertentu. Namun, ketika penganugerahan ini tidak didasarkan pada penilaian obyektif, melainkan pada kepentingan tertentu, makna kehormatan itu malah ternodai. Hal ini mengingatkan kita pada ucapan Socrates, "Kemuliaan terbesar dalam hidup bukanlah tidak pernah gagal, tetapi bangkit setiap kali jatuh," yang menunjukkan bahwa perjalanan untuk memperoleh pengetahuan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan cara instan.
Begitu pula dengan penyelesaian program pendidikan yang dinilai terlalu singkat, memunculkan pertanyaan serius mengenai kualitas pendidikan yang diberikan. Apakah tujuan pendidikan kita saat ini hanya sekedar mengumpulkan sertifikat atau memberikan pengalaman belajar yang sesungguhnya? Paulo Freire menegaskan, "Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah orang, oranglah yang mengubah dunia." Jika fokus kita hanya pada hasil akhir berupa gelar, maka proses belajar mengajar kehilangan maknanya.
Studi yang dilakukan oleh Vit Machacek dan Martin Srholec menyoroti satu aspek lain dari ketidakjujuran akademik yang mencemari pendidikan kita, yaitu manipulasi dalam publikasi jurnal ilmiah. Angka ketidakjujuran akademik Indonesia yang mencapai 16,73% merupakan tanda buruk yang menyatakan, bahwa integritas akademik kita sedang dalam krisis. Ini bukan hanya tentang banyaknya publikasi palsu, tapi juga merosotnya moral akademik yang harus segera diatasi.
Ketidakjujuran akademik juga dapat diasosiasikan dengan Plato yang berpendapat, "Keadilan akan hadir ketika semua orang melakukan perannya masing-masing dengan baik." Ketidakjujuran ini berarti ada peran yang tidak dijalankan dengan benar dalam proses akademis, baik dari pendidik, pengelola, maupun peserta didiknya. Kejujuran dan etika harus menjadi landasan dalam setiap tindakan akademik kita.
Ketidakjujuran dalam pendidikan tidak hanya menipu diri sendiri, tetapi juga merampas kesempatan generasi masa depan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Ketika satu orang curang, dampaknya dirasakan oleh banyak orang lain di lingkungan akademiknya. Mengingat kata Aristoteles, "Kebiasaan yang baik terbentuk dari tindakan yang berulang-ulang," maka membangun kebiasaan kejujuran harus menjadi prioritas kita bersama.
Lebih parah lagi, ketidakjujuran dapat menjalar ke luar dunia akademik dan merasuk ke semua aspek kehidupan, menciptakan budaya ketidakdisiplinan dan tidak bertanggung jawab. Para lulusan yang dihasilkan dari sistem yang tercemar oleh ketidakjujuran bukan hanya tidak kompeten, tetapi juga membawa dampak negatif dalam profesionalisme mereka. Mereka lupa bahwa, "Mengenal diri sendiri adalah awal dari semua kebijaksanaan," seperti yang dikatakan Aristoteles.
Sistem pendidikan yang seharusnya membangun dan mendidik individu menjadi pribadi yang bertanggung jawab, hari ini malah terjebak dalam perlombaan untuk mendapatkan pengakuan secepat mungkin, seringkali dengan mengabaikan proses penting yang mendasarinya. Seperti yang diungkapkan oleh Jean-Jacques Rousseau, "Orang harus memilih di antara membuat orang kaya, atau membiarkan mereka menjadi baik." Ini berlaku dalam konteks hari ini sebagai pilihan antara membangun pendidikan berkualitas atau sekedar mencari angka kuantitatif belaka.