Mengungkap ketidakjujuran akademik adalah sebuah perjalanan yang mengguncang fondasi moral kita, baik sebagai individu maupun masyarakat.Â
Di Indonesia, wajah ketidakjujuran akademik membayangi institusi pendidikan kita seiring dengan semakin terungkapnya data dari berbagai penelitian.Â
Fakta yang mengejutkan datang dari studi yang dilakukan oleh dua peneliti asal Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec, yang menemukan bahwa Indonesia memiliki tingkat ketidakjujuran akademik sebesar 16,73% dalam publikasi jurnal ilmiah antara tahun 2015 hingga 2017.Â
Angka ini menempatkan Indonesia hampir sejajar dengan Kazakhstan yang mencatatkan 17%, dan lebih tinggi dari Irak dengan 12,94%. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit yang memaksa kita untuk memeriksa lebih dalam bagaimana nilai dan norma kita diterapkan dalam dunia pendidikan.
Ketidakjujuran akademik mencerminkan lebih dari sekadar penyimpangan perilaku; ia adalah sinyal adanya masalah moral yang mendalam dalam sistem pendidikan kita.Â
John Dewey, seorang filsuf pendidikan terkemuka, pernah mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya persiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah hidup itu sendiri. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya integritas akademik sebagai inti dari pengalaman belajar. Ketidakjujuran di dunia akademik menciptakan ilusi pengetahuan dan merusak esensi dari pembelajaran itu sendiri.
Salah satu akar masalah ketidakjujuran akademik di Indonesia dapat ditelusuri hingga ke tekanan yang diberikan pada pelajar dan akademisi. Dalam lingkungan yang kompetitif, dimana hasil sering kali lebih dihargai daripada proses, menggoda bagi banyak orang untuk menempuh jalan pintas demi mencapai kesuksesan.Â
Hal ini sesuai dengan pandangan Paulo Freire, yang menekankan bahwa sistem pendidikan sering kali lebih berfokus pada mengisi kepala siswa dengan informasi daripada membangun kemampuan berpikir kritis. Ketidakmampuan untuk memproses dan menganalisis informasi secara mandiri inilah yang akhirnya mendorong ketidakjujuran.
Lebih lanjut, lemahnya pendekatan terhadap pendidikan moral di sekolah-sekolah kita semakin memperparah situasi ini. Pendidikan moral yang efektif seharusnya tidak hanya menjadi satu mata pelajaran terpisah, tetapi terintegrasi dalam seluruh kurikulum.Â
Pendidikan seharusnya membentuk kepribadian dan karakter peserta didik, seperti yang diungkapkan Immanuel Kant bahwa pendidikan adalah seni membuat manusia menjadi manusia. Tanpa adanya fokus yang kuat terhadap pembentukan karakter, kita akan terus menerus melihat manifestasi dari ketidakjujuran akademik.