Mohon tunggu...
Muhammad Eko Purwanto
Muhammad Eko Purwanto Mohon Tunggu... Dosen - ALUMNI S3 UNINUS Bandung

Kuberanikan diri mengubah arah pikiran dan laku. Menyadarinya tanpa belenggu, dan identitas diri. Memulai hidup, merajut hidup yang baru. Bersama Maha Mendidik, temukan diri dalam kesejatian. Saatnya berdamai dengan kesederhanaan. Mensahabati kebahagiaan yang membebaskan. Cinta, kebaikan, dan hidup yang bermakna, tanpa kemelekatan yang mengikat. Hidup berlimpah dalam syafaat ilmu. Mendidikku keluar dari kehampaan. Hidup dengan yang Maha Segalanya, Menjadi awal dan akhirnya dari kemulyaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keberanian para Santri yang 'Superhero' dalam Mendobrak 'Stereotipe' Pesantren di Indonesia!?

22 Oktober 2024   22:10 Diperbarui: 22 Oktober 2024   22:31 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dok. Dr. Fauzi Al Muhtad (Upacara Hari Santri Nasional di PCNU Kab. Kebumen, 22-10-2024)

Oleh. Muhammad Eko Purwanto

Sejarah panjang pesantren di Indonesia sering kali diwarnai dengan tantangan dan ketidakadilan, salah satunya adalah persepsi bahwa para santri kurang cakap dalam ilmu pengetahuan. Menurut K.H. Dr. Agus Sunyoto, hingga tahun 1990-an, banyak masyarakat masih menganggap santri di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kelompok bodoh. Namun, perubahan besar terjadi ketika K.H. Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, melakukan kaderisasi besar-besaran pada tahun 1991. Beliau memperkenalkan anak-anak muda NU pada berbagai disiplin ilmu seperti analisis sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi untuk membekali mereka agar lebih kritis dan terampil dalam menghadapi tantangan di masyarakat. Hasilnya, para santri bukan hanya unggul dalam ilmu agama, tetapi juga dalam berbagai bidang lainnya.

Dr. Agus Sunyoto juga menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson, yang menyebut resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 22 Oktober 1945 sebagai momen penting. Resolusi tersebut diwartakan di berbagai media, termasuk Koran Kedaulatan Rakyat dan Suara Masyarakat di Jakarta. Meskipun peranan NU dalam perang kemerdekaan sering diabaikan, resolusi jihd menjadi titik balik yang menunjukkan kontribusi besar santri dan kiai dalam perjuangan kemerdekaan.

Pada saat Indonesia pertama kali merdeka pada tahun 1945, kita belum memiliki tentara resmi. Baru pada 5 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, yang kemudian menjadi cikal bakal TNI. Namun, banyak dari komandan TKR saat itu adalah kiai dari pesantren, termasuk Kolonel K.H. Sam'un dan Kolonel K.H. Arwiji Kartawinata, menegaskan peran penting pesantren dalam pertahanan negara.

Para santri dan kiai menjadi tulang punggung militer Indonesia tanpa imbalan materi. Hingga 1950-an, tentara tidak menerima bayaran dari negara. Dalam kondisi penuh keprihatinan, para kiai beserta santri dan pasukan Hizbullah rela berjuang demi bangsa dan negara, menjadikan mereka pahlawan sejati. Semangat ini tetap hidup hingga kini dengan keberadaan Banser, pasukan bentukan NU yang juga bertugas tanpa imbalan.

Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November sesungguhnya mengakar dari peristiwa heroik di Surabaya pada 10 November 1945. Namun, sebelum tanggal tersebut, sudah terjadi pertempuran sengit selama empat hari berturut-turut di kota pahlawan ini. Resolusi jihad yang dikeluarkan PBNU pada 22 Oktober 1945 menjadi pemicu semangat perlawanan warga Surabaya. Seruan jihad ini menggerakkan para santri dan warga untuk bersatu melawan sekutu yang hendak mengambil alih kembali kemerdekaan Indonesia.

Tentara Inggris yang datang ke Indonesia tak pernah menduga bahwa mereka akan menghadapi perlawanan keras dari masyarakat. Diperkirakan, semangat resolusi jihad telah mengobarkan semangat juang yang membuat warga Surabaya siap mempertahankan kota mereka dengan jiwa dan raga. Sebuah perlawanan yang berkali-kali mengalahkan pasukan kolonialisme.

Keberanian arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari berbagai kalangan termasuk santri, menjadi titik nol bagi perjuangan kemerdekaan. Teriakan "Allahu Akbar" menggema di seluruh pelosok Surabaya, menjadi suara perlawanan menghadapi kedatangan Inggris. Tentara Keamanan Rakyat pun berdiri bersama rakyat, menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya didasari oleh uang, tetapi demi kemerdekaan dan keadilan.

Dalam pertempuran sengit tersebut, bahkan hingga tanggal 28 Oktober 1945, sekitar 1000 lebih tentara Inggris tewas. Meskipun banyak yang meragukan hal tersebut, itu adalah kebenaran sejarah yang jarang diakui secara resmi. Pertempuran ini menjadi isu internasional, dan menyebabkan sekutu mencari jalan damai melalui peran serta Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta.

Meski kesepakatan damai telah ditandatangani pada 30 Oktober 1945, masyarakat Surabaya enggan berhenti berjuang. Pertempuran sengit berlanjut hingga seorang jenderal Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby, tewas di tangan pemuda-pemudi yang berani. Hal ini semakin memperlihatkan betapa peperangan ini adalah bukti nyata dari keberanian dan pengorbanan tanpa pamrih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun