Oleh. Wira D. Purwalodra
Antara teori dan praktik sering kali terbentang jurang yang dalam, terutama ketika kita berbicara tentang filsafat ilmu dan implementasi pendidikan di sekolah. Filsafat ilmu, dengan segala kekayaannya dalam mencari dan menemukan kebenaran, kadang-kadang terasa terlepas dari realitas sehari-hari di dunia pendidikan. Saat kita membahas kualitas pendidikan di Indonesia, nampak betul bagaimana kebijakan serta implementasi pendidikan masih bergulat dengan ketidakselarasan yang substansial antara teori dan praktik.Â
Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN dan APBD, seharusnya ada cukup ruang untuk menyelaraskan visi filosofis dengan metode praktis dalam pendidikan. Tapi, kita masih dihadapkan pada tantangan yang signifikan ?!
Socrates pernah berkata bahwa pendidikan bukanlah mengisi wadah yang kosong, melainkan menyalakan api. Namun, di banyak sekolah, metode pengajaran masih terjebak dalam paradigma transfer pengetahuan yang pasif. Siswa digiring untuk menghafal fakta tanpa mendalami makna.Â
Ketika teori pendidikan menekankan pada pembelajaran berbasis penemuan dan pengembangan kritis, praktik di lapangan menunjukkan fokus yang berlebihan pada nilai ujian dan hapalan. Hal ini tentu tidak sinkron dengan pemikiran progresif dalam filsafat ilmu yang menekankan pentingnya berpikir kritis dan kreatif.
Di sisi lain, para filosof Muslim seperti Al-Ghazali dan Ibn Sina selalu menekankan pentingnya keselarasan antara ilmu dan amal. Menurut Al-Ghazali, ilmu yang tidak mengantarkan pada amal yang bermanfaat sama seperti pohon tak berbuah. Dalam konteks pendidikan, ini berarti pengetahuan yang tidak diaplikasikan atau dihidupkan dalam praktik sehari-hari di sekolah adalah ilmu yang kehilangan maknanya. Jika kita berharap lulusan pendidikan kita dapat berkontribusi secara signifikan dalam masyarakat, maka perlu ada jembatan antara teori filsafat ilmu dan praktik pendidikan.
Namun, mengapa ketidaksesuaian ini terus berlanjut? Salah satu alasannya bisa jadi berasal dari kerangka kebijakan yang tidak sepenuhnya mengadopsi pendekatan filosofis dalam pendidikan. Meski ada 20% dari APBN dan APBD yang dialokasikan untuk pendidikan, tanpa panduan yang tepat dalam penggunaan anggaran ini, perbaikan kualitas tidak akan terwujud.Â
Dalam pandangan John Dewey, pendidikan sejati adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus terintegrasi dengan kehidupan nyata dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kita juga harus memperhatikan kurikulum yang sering kali tidak sejalan dengan perubahan zaman. Filsafat pendidikan yang diusung oleh para pemikir seperti Paulo Freire menekankan pendidikan sebagai sarana pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan penindasan.Â
Kendati demikian, realitas di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa banyak institusi pendidikan masih terjebak dalam struktur hierarkis dan otoriter yang membatasi kreativitas dan inisiatif siswa. Ini adalah tantangan yang harus diatasi jika kita ingin menjadikan sekolah sebagai ladang subur bagi pembentukan jiwa kritis.