Oleh. Wira D. Purwalodra
Sebentar lagi Negara dan bangsa kita akan menyelenggarakan Pemilu Presiden dan anggota parlemen. Persiapan untuk menyambut perhelatan akbar pun sudah jauh-jauh hari dilakukan, demi suksesnya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Undang-undang dan mekanisme permainanya menjadi jalan menuju kursi pemimpin Negara. Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi kunci legitimasi demokrasi untuk membangun supremasi kekuasaan, atas nama perseorangan, partai atau komunitas pendukungnya. Rakyat, selain dijadikan sebagai kunci keberhasilan demokrasi, juga sebagai komoditas untuk diperdagangkan secara politik.
Komoditas politik yang terkait dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, diperjualbelikan oleh semua partai yang belum maupun yang sudah memperoleh kursi kekuasaan. Sementara, partai yang sudah berkuasa pun, menjual kinerjanya sebagai pemerintah yang baik, amanah dan dapat dipercaya. Pergumulan antara yang menyerang dengan yang bertahan ini, menjadi bagian penting dari proses demokrasi, yang diyakini akan membangkitkan dan membangunkan semua unsur-unsur yang membentuk suatu Negara.
Kita sudah sangat memahami bahwa membangun demokrasi perlu waktu yang sangat panjang dan berliku, mengorbankan harta, raga dan jiwa. Kita dihadapkan kepada perjalanan demokrasi di Negara adi daya, Amerika Serikat, ratusan tahun Negara ini menempuh jalan demokrasi. Kita menjadikan demokrasi sebagai suatu alat untuk mencapai kekuasaan, dan kekuasaan merupakan tujuan akhir perjalanan seseorang dan institusi politik.
Kondisi ini menjadi sangat signifikan, ketika kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan publik yang kemudian disalahgunakan. Rakyat menyaksikan dari pemilu ke pemilu, dan merasakan denyut perubahan hidup dan kehidupan dari waktu ke waktu, rakyat menjadi komoditas politik yang diperjual belikan. Bahkan tokoh-tokoh rohaniawan-rohaniawati dan ulama, ikut serta mengobrak-abrik hati nurani rakyat dengan memutuskan bahwa golput haram hukumnya bagi rakyat. Sepakat atau tidak, rohaniawan dan Ulama adalah Ibu, bagi rakyat, masyarakat atau ummatnya. Sementara, Umaro adalah Bapak untuk rakyatnya.
Seorang Ibu, yang penuh kasih kepada anak-anaknya, akan berusaha melindungi apapun yang membahayakan bagi anak-anaknya, sekaligus mendidiknya dengan lembut, agar kelak kemudian hari, si anak mampu menjadi individu yang dewasa, mandiri dan memiliki kekuasaan seperti Bapaknya. Sedangkan, seorang Bapak, selain memberikan nafkah lahir dan bathin, dan berusaha mendisiplinkan anak-anaknya, serta memberikan bekal pengetahuan (mencerdaskan). Tanggung jawab seorang Ibu dan Bapak, meskipun berbeda, namun memiliki nilai yang sama tinggi, untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Ketika rakyat menyaksikan dan merasakan, perubahan hidupnya hanya berjalan ditempat, maka kemana lagi, masyarakat, rakyat atau ummat, sebagai anak dari Ulama dan Umaro di republik ini, untuk meminta solusi atas hidupnya ? Tidak bisa dipungkiri, berbagai indikator, muncul mewarnai wajah republik kita ini. Berbagai argument dan apologi menjadi kosmetik, yang bisa dijual-belikan secara bebas atas nama demokrasi. Kita tidak tahu lagi, mana kosmetik yang berbahaya dan mana yang tidak.
Jika kita mau lebih terbuka terhadap fenomena dan kondisi di republik ini menjelang pemilu tahun 2009, mungkin kita akan bercermin kepada Ponari di Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur. Terlepas dari semuanya, fakta bahwa Ponari mengundang antusiasme publik, yang kemudian diliput media, bahkan menjadi"headline" utama koran dan televisi, sungguh merupakan fenomena menarik dan sarat dengan pembelajaran hidup. Mestinya kita tercerahkan dengan dengan munculnya fenomena ini, bukannya merumuskan fatwa-fatwa, menilai bahkan menghakimi menjadi salah atau benar, baik atau buruk.
Sebagian besar kita, yang merasa paling intelek dan reljius, berupaya membentuk opini, agar apa yang terjadi pada Ponari dan batu temuannya itu, adalah sesuatu yang tidak masuk akal, tidak rasional dan mustahil terjadi. Bahkan, Ponari yang tidak pernah mempersiapkan argumen rasional pun, dibombardir dengan fatwa-fatwa yang tidak akan pernah terlintas dalam pikirannya. Kitapun tidak pernah menyadari bahwa hidup yang kita jalani ini pun, jauh dari masuk akal, tidak pernah rasional, dan tidak logis. Semua yang terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia diluar batas rasional. Namun, kenapa seorang Ponari yang lugu dan baru kelas III-SD saja, dihabisi dengan hal-hal yang masuk akal ?, kemudian masyarakat yang membutuhkannya pun dianggap sebagai orang-orang yang ikut-ikutan tidak waras ?. Apakah kita menyadari bahwa semua ini akibat dari perilaku ketidakrasionalan kita terhadap rakyat, bangsa dan negara ?, dalam memimpin, memberikan suri tauladan, dan mengambil keputusan.
Ponari telah membangunkan raksasa yang ada dalam hati nurani kita, untuk segera bercermin, ada apa dan mengapa ?. Kekuasaan Tuhan diperlihatkan kepada kita semua di republik ini ? Untuk apa Ponari begitu menyedot perhatian publik, sehingga para pakar dan praktisi ikut menyatakan pendapat pro dan kontra. Kita tidak bisa menemukan pembelajaran yang tersembunyi di balik peristiwa ini dengan akal fikiran. Kita harus melihatnya dengan cermin yang ada dalam jiwa kita, karena tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan di alam semesta ini. Semuanya berada dalam pengaturan yang Maha Sempurna dan Yang Maha Tahu, Tuhan semesta alam.
Tulisan-tulisan di banyak media, memaparkan bahwa secara rasional (bagi mereka yang berfikir terbuka), peristiwa Ponari ada hubungannya secara langsung dengan semua persolan bangsa dan Negara ini, dan persoalan kehidupan manusia pada umumnya. Pengalaman Ponari dan batu temuannya itu, langsung menjawab persoalan bangsa ini (gunakan akal budi atau hati nurani). Mulai dari persoalan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya. Pembahasannya akan menjadi sangat luas ketika kita menggunakan Ponari sebagai cermin kehidupan. Tidak hanya menggunakan akal fikiran semata yang bersifat fisika.