Mohon tunggu...
Pipin Arifin
Pipin Arifin Mohon Tunggu... -

Saya merupakan staf pengajar di SMA BPK Penabur tasikmalaya dan SMP Islam Al-azhar 30 tasikmalaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potret Demokrasi Kita

21 April 2014   20:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta rakyat telah usai, meninggalkan kisah suka dan duka. Bagi mereka yang sukses menduduki hangatnya kursi parlemen seperti mimpi indah yang telah lama dinanti menjadi kenyataan. Tetapi mereka yang gagal seperti petirdi siang bolong, mengagetkan danmengejutkan, harapan yang awalnya dibalut optimisme kini hilang sudah tersapu kenyataan yang harus dihadapi. Keduanya menimbulkan ekspresi yang berbeda. Yang sukses menggelar hajatan, “ngabeudahkeun balong”, sampai mencukur rambut hingga mengkilap. Yang kalah lebih beragam lagi, caleg stres masih menghiasi hajatan lima tahunan ini, sampai-sampai RSUD di tiap-tiap daerah ramai-ramai menyiapkan ruangan khusus bagi caleg stres. Banyak diantara mereka mengekspresikan kegagalan dengan marah-marah menuduh penyelenggara pemilu berbuat curang, membakar kantor PPK, mengambil kembali bantuan yang telah diberikan, sampai ada yang meninggal mendadak karena melihat perolehan suara jeblok hingga akhirnya jantung berhenti berdetak. Tapi walaupun demikian, masih banyak caleg gagal yang legowo menerima kenyataan dengan lapang dada. Inilah konsekuensi logis yang harus dihadapi.

Hajatan politik merupakan sebuah kompetisi yang sangat ketat dan melelahkan. Bagaimana tidak, jumlah keseluruhan caleg yang mengikuti pileg 200.000 orang, sementara jumlah kursi yang tersedia hanya 19.699 kursi atau kurang lebih 20% saja, dengan kata lain satu kursi diperebutkan oleh 2000 orang, itu artinya akan banyak yang gagal ketimbang yang menang. Untuk mengikuti persaingan yang sengit ini diperlukan orang-orang yang berjiwa fighter dan sportif. Namun realitasnya masih banyak caleg egois, siap menang tapi tidak siap kalah, dengan alasan terjadi kecurangan, suaranya dirampok, penggelembungan suara dll. Sepertinya kalau menang dia lupa atau tidak merasa telah bermain curang. Banyak orang yang berkoar-koar pentingnya pendidikan politik pada masyarakat, kalau calegnya seperti ini bagaimana bisa mendidik masyarakat politik yang santun, jangan salahkan mereka kalau akhirnya apatis terhadap kehidupan berpolitik, bahkan tidak sedikit beranggapan politik itu kotor dan licik karena yang ditayangkan hal-hal negatif, menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Inilah persoalan yang harus segera dipecahkan oleh peserta pemilu, khususnya partai politik. Proses pengkaderan di tubuh parpol tidak berjalan epektif, dalam perektutan caleg cenderung asal-asalan. Di beberapa daerah banyak caleg yang kehidupannya kurang mapan baik secara ekonomi maupun pendidikan. Tidaklah salah karena teori demokrasi mengisyaratkan semua orang berpeluang untuk memimpin (mencalonkan atau dicalonkan). Tapi kalau melihat integritas dia mampu tidak? Bagaimana bisa memberdayakan masyarakat keluar dari jerat kemiskinan sedangkan dia nya sendiri masih berjuang mempertahankan hidup, atau keinginnay besar untuk mencerdaskan bangsa, sedangkan dirinya masih berkutat dalam kebodohan. Sepertinya sulit terjadi seperti menegakan benang basah. Akhirnya bagi caleg yang kalah dan ekonominya pas-pasan kalau tidak bisa menerima kenyataan, maka akan mengalami depresi yang hebat.

Kedepan proses perekrutan caleg haruslah selektif, hendaknya faktor ekonomi dan pendidikan menjadi prioritas atau pertimbangan utama supaya menghasilkan kader yang berkualitas dan bisa menyuarakan aspirasi masyarakat di parlemen. Tanamkan pada dirinya bahwa setiap persaingan menang kalah hal biasa dan harus dihadapi dengan jantan, dan jabatan merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik, memimpin berorientasi pada pengabdian bukan kekuasaan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun