Dunia pendidikan sangatlah luas dan kompleks. Sarat dengan dinamika-dinamika yang terkandung didalamnya. Indonesia merupakan salah satu Negara yang turut andil dalam penandatangan deklarasi millennium, yang dideklarasikan pada September tahun 2000 silam, di new york dan diadopsi oleh 189 negara di dunia. Salah satu poin penting dalam deklarasi tersebut adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua, atau dengan kata lain setiap penduduk dunia mempunyai hak yang sama mengakses/medapatkan pendidikan dasar.
Indonesia mengadopsi millennium development goals (MDGs) kedalam butir pembangunan jangka panjang dengan lahirnya indeks pembangunan manusia (IPM), yang nilainya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Adapun instrument penting dalam indeks pembangunan manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan daya beli (ekonomi). Aspek pendidikan menekankan pada wajib belajar Sembilan tahun (sekarang rata-rata daerah sudah mencanangkan wajib pendidikan dua belas tahun) secara geratis atau dibiyayai oleh pemerintah. Aspek kesehatan menitik beratkan pada penekenan kematian ibu dan anak atau diimplementasikan melalui program-program kesehatan seperti jamkesmas yang sekarang diubah menjadi BPJS. Ekonomi mencermati pada aspek daya beli ataupun pendapatan perkapita. Kalau kita cermati lebih detail, ternyata pendidikan merupakan aspek yang sangat urgent, kesehatan dan daya beli akan terpenuhi ketika aspekpendidikan dapat dijangkau oleh semua pihak. Pengangguran dan kemiskinan sangat linier dengan pendidikan yang didapatkan. Atau dengan kata lain, kebodohan itu sangat dekat dengan kemiskinan.
Dewasa ini kita disuguhkan dengan berita-berita yang cukup memubuat buku kuduk merinding. Pembunuhuan, pemerkosan, dan tindakan kriminal lainnya ternyata tidak hanya dilakukan oleh preman atau penjahat saja, melainkan dilakukan pelajar yang setiap hari mengenyam pelajaran di bangku sekolah bahkan sudah terbiasa melakukannya, tanpa rasa bersalah dan menyesal dia mengakui perbuatannya dengan santai. Para pejabat yang notabene berpendidikan tinggi masih “doyan” melakukan korupsi. Nilai-nilai gotong royong yang selalau jadi dambaan bangsa ini nampaknya sudah mulai pudar, kita cenderung individualis dan oprtunis. Pertanyaan yang timbul adalah ada apa dengan pendidikan kita? Untuk menjawab permesalahan tersebut,pemerintah melalaui UU sisdiknas tahun 2003 mengisyaratkan supaya pendidikan di Indonesia tidak hanya membentuk manusia cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter (sholeh). Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Tidak mudah memang untuk mewujudkan hal tersebut. Ini merupakan tugas yang sangat berat khusunya bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan baik itu guru, dosen, maupun para tokoh agama.ketika para orang tua memasukan anaknya ke sekolah setidaknya ada harapan yang tersirat pada benak mereka yaitu cerdaskan dan salehkan anak saya. Harapan yang begitu besar mereka amanahkan kepada kita para guru, penuh halangan, rintangan, dan tantangan dalam merealisasikannya. Namun kalau kita punya komitmen disertai keyakinan yang tinnggi tidaklah mustahil hal itu akan terwujud, bukankah batu yang keras saja bisa hancur oleh tetesan air yang berulang-ulang? pepatah sunda mengatakan “cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok” .Disinilah perlunya mentalitas istiqamah yang tertanam pada setiap jiwa guru. Pemimpin dimasa yang akan datang itu tergantung kualitas pendidikan saat ini.
Berbicara pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi kita khusunya umat islam. Rassulullah jauh-jauh hari sudah mengajarkan, bahkan memberikan souritoladan (contoh) pada kita. Dalam sebuah hadist dikatakan “sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq”. Sangatlah jelas digambarkan dalam berbagai kisah begitu indahnya akhlaq beliau. Dalam suatu riwayat diceritakan saat pasukan muslimin hendak berperang (perang badar). Saat itu pasukan muslimin yang berjumlah 300 orang hanya mempunyai unta 100 ekor, sehingga satu ekor harus digunakan bertiga. Rasulullah yang waktu itu seorang pemimpin mau bergantian dengan kedua sahabatanya, kadang rasul diatas (menunggangi) terkadang beliau juga dibawah berpanas-panasan sambil menuntun kuda.inilah salah satu contoh keteladanan beliau dalam memberikan souritoladan, masih banyak kisah-kisah lainnya yang tak mungkin saya ceritakan satu persatu.
Pendidikan karakter akan tertanam pada anak didik ketika ada panutan, atau dengan kata lain pendidikan karakter tidak akan berhasil jika hanya sebatas teoritis belaka. Tidak mungkin seorang guru menyuruh anak didiknya untuk disiplin sementara gurunya sering datang terlambat, atau menyuruh siswa untuk tidak merokok sedangkan gurunya perokok berat. Menyuruh anak didik bersikap jujur sedangkan ketika akan menghadapu UN (ujian nasional) para guru“bermain curang”, kongkalikong dengan pengawas supaya dikasih kelongggaran, bahkan tidak sedikit yang membocorkan kunci jawaban untuk dibagikan pada peserta ujian. Kalau praktik ini dibiarkan, jangan salahkan mereka kalau mereka suatu saat jadi pemimpin/pejabat menjadi pejabat yang tidak amanah dan melakukan korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H