Prolog dari Kisah-kisah ini ada di catatan harian kompasiana di http://pendek.in/5jb2
Aku teringat cerita beberapa tahun silam, saat aku masih dalam pendidikan spesialis obstetri ginekologi di Jakarta. Saat itu menjelang tengah malam, saat kantuk mulai menyerangku, seperti ada beban yang menggantung di kelopak mataku. Namun begitu banyaknya pasien saat itu, membuat aku dan teman-teman sejawat harus selalu terjaga, seperti layaknya berada di medan peperangan, selalu waspada akan datangnya musuh. Kami berkumpul sambil mengawasi pasien di ruang VK. Kalangan medis menyebut kamar bersalin sebagai VK, karena masih terbawa bahasa Belanda Verlos Kamer sejak jaman kolonial Belanda di negeri ini.
Brakkk…! Tiba-tiba pintu VK terbuka keras karena dorongan brankard dengan seorang pasien wanita yang sudah tak sadarkan diri diatasnya, didorong oleh perawat IGD bersama suami dan beberapa kerabatnya. Mereka tampak tergopoh-gopoh, raut muka panik kelihatan sekali terpancar dari keluarga pasien itu.
Seperti di film televisi terkenal ER yang dibintangi oleh George Clooney, seluruh tim jaga langsung menyerbu ke pasien tersebut, dan langsung dengan simultan melakukan clinical assessment pada si ibu ini. Aku perkenalkan diriku pada keluarganya, dan kucoba melakukan wawancara alloanamnesis sepintas kepada suaminya, karena si ibu sudah tak sadarkan diri. Suaminya pun sambil tersengal-sengal bercerita, bahwa 2 jam sebelumnya istrinya yang sedang hamil tua, tiba-tiba kejang sampai 3 kali. Otakku langsung berputar cepat, kondisi kejang dalam kehamilan, biasanya disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol selama kehamilannya. Benar saja, saat diperiksa tekanan darah si ibu sudah mencapai 200/120mmHg. Kami tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan si ibu yang mendadak terbangun dan kembali mengalami kejang. Sungguh hebat kekuatan kejang si ibu ini. Aku dan teman-teman serta para perawat berenam memegangi si ibu supaya tidak melukai dirinya sendiri, kupasang pelindung guedel di mulutnya untuk mencegah tergigitnya lidah karena kejangnya. Infus dalam sekejap sudah terpasang di dua pergelangan tangan kiri dan kanan ibu, sambil diberikan suntikan magnesium sulfat untuk mencegah kondisi kejang lebih parah Dokter yang lain mencari denyut jantung janin dengan alat Doppler, Alhamdulilah denyut jantung janin masih terdengar, meskipun sudah mencapai 170 denyut per menitnya. Janin bisa terancam karena kondisi hipoksia atau kekurangan oksigen karena kejang yang dialami si ibu. Kondisi kejang dalam kehamilan yang biasa disebut eklampsia gravidarum ini merupakan salah satu penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia, yang biasanya tidak tertolong karena keterlambatan datang ke rumah sakit.
“Siapkan SC cito…!!” Aku sebagai chief on duty saat malam itu langsung ambil keputusan untuk melakukan operasi sectio cesarea darurat pada ibu ini. Intensive Care Unit pun sudah dikabari bahwa akan ada pasien rencana operasi yang akan masuk ke perawatan intensif pasca operasi. Sembari tim menyiapkan tindakan operasi, aku mengalihkan perhatianku kembali ke suami dan semua kerabatnya, yang menunggu dengan pandangan kosong, penuh kebingungan dan kecemasan. Aku bawa selembar kertas persetujuan Informed Consent, sebagai sarana untuk menjelaskan kondisi ibu dan komplikasi yang bisa terjadi, dan untuk mendapatkan persetujuan mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan. Belum sepatah kata keluar dari mulutku, suami si ibu tadi bersimpuh di bawahku, menangis dan memohon, “Dokter, selamatkan istri dan anak saya…” Ingin rasanya aku ikut menangis, tapi pendidikan kedokteran mendidik kita untuk bersikap empati, bukan simpati, jadi kita harus bersambung rasa terhadap kondisi pasien, tapi tidak boleh menunjukkan sikap mudah tergoncang. Ingin rasanya aku berteriak, tapi hanya bisa kulakukan dalam hati, sambil kulakukan penenangan diri sambil menarik dan menghela nafas pelan-pelan dan dalam. Mulutku terasa kelu dan berat, pelan-pelan kujelaskan padanya bahwa kondisi istri kritis dan belum stabil, dan ancaman kematian belum bisa terhindar selama masalahnya belum tertangani.
Begitu sudah kudapatkan persetujuan suaminya, aku bergegas secepat mungkin menuju kamar operasi dan bersiap diri dengan baju operasi. Meski baju operasi yang kukenakan sudah berlapis-lapis, namun suhu dingin di kamar operasi masih menembus dan seperti mengetuk-ngetuk tulangku, sedingin suasana kaku dan sunyinya ruang kamar operasi malam itu. Di meja operasi, sudah terlentang si ibu tadi dalam kondisi terbius oleh dokter anestesi. Lampu kamar operasi menerangi perut si ibu, seakan berusaha membantu memberikan cahaya semangat kehidupan pada calon bayi yang akan muncul sebentar lagi. Sesaat sebelum aku mengiris perut buncitnya, yang terbayang dalam pikiranku hanyalah keselamatan ibu dan bayi, dan bayangan muka suami yang berseri-seri melihat ibu dan bayinya sehat dan selamat. Aku berdoa kepada Allah SWT, “Bismillahir rahmanir rahiim, Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Berilah aku kekuatan dan kemampuan sehingga ibu dan bayi ini dapat selamat.”
Tak selang berapa lama, bayi kecil itu pun lahir, tidak langsung menangis, segera kulakukan pembersihan jalan napas dan rangsang taktil, dan akhirnya tangisan bayi pun terdengar meskipun pelan, segera sejawat dokter anak melanjutkan tindakan resusitasi di atas alat penghangat bayi, dan kulanjutkan operasi untuk menutup perut si ibu. Alhamdulilah, kupanjatkan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan kemurahan dan kasih sayang-Nya sehingga bayi dan ibunya selamat.
Keluar dari kamar operasi, aku kembali menghampiri suami dan keluarganya yang menunggu di ruangan di luar kamar operasi. Kuceritakan proses persalinannya dan bahwa saat ini kondisi stabil, namun karena risiko kejang masih bisa terjadi 24 jam pasca persalinan, maka si ibu masih harus dalam observasi ketat dalam ruang perawatan khusus. Suami dan sanak keluarganya tidak bisa menyembunyikan rasa leganya, mereka menangis sedih bercampur bahagia.
Momen-momen seperti ini yang memberiku bekal kekuatan rohani dan fisik untuk selalu berjuang demi kesehatan sesama. Dan pengalaman-pengalaman inilah yang kembali mengingatkanku dan menyadarkanku betapa tiada bandingan setara untuk perjuangan seorang ibu, yang rela nyaris mengorbankan nyawanya, demi titipan buah cintanya.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S Al Ahqaaf, 46:15)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H