Wiji Thukul adalah tokoh, legenda, pahlawan, martir bagi sejarah pergerakan. Namanya boleh jadi disebut dalam tiap perayaan Hari Buruh. Puisinya dibacakan dalam orasi. Slogannya "Hanya ada satu kata: lawan" tercetak di kaos dan spanduk perjuangan.
Tapi namanya tak dikenal oleh generasi sekarang. Perannya dalam sejarah formal Indonesia masih sumir karena sampai sekarang nasibnya belum jelas.
Tapi justru karena statusnya sebagai orang hilang, maka film tentangnya menjadi semacam gugatan serius dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Karena kita tahu, ketidakjelasan nasibnya adalah karena pandangan dan aksi politiknya.
Alih-alih disajikan lewat heroisme yang mengultuskan sang penyair, film Istirahatlah Kata-kata berlaku sebagai negasi film biopik umumnya.
Ia malah lebih terkesan sunyi untuk film yang menceritakan seorang pembangkang. Sosok ini diterjemahkan sutradara Yosep Anggi Noen dalam setting masa pelarian Wiji Thukul di Pontianak, Kalimantan Barat, sesudah 27 Juli 1996 ketika bersembunyi dari kejaran intelijen dan aparat Orde Baru. Kisaran waktu ini menjadi periode krusial bagi kehidupan Wiji yang unik sekaligus kompleks.
Film ini mencoba menampilkan sisi manusiawi sang penyair: sosok yang juga mengenal rasa takut, cemas, kesepian dan rindu dalam pelariannya.
Tak ada ketegangan debat dalam rapat, riuh rendahnya demonstrasi atau berbagai bentuk aksi politik yang menegangkan dalam film ini. Yang ada justru hal-hal remeh temeh: main kartu, minum kopi, makan bersama hingga mati listrik. Tak ada yang heroik, apalagi bombastis.
Tapi kesederhanaan suasana keseharian ini yang justru menjadi kekuatan film. Anggi ingin menunjukkan bahwa kenyataan tidak sesederhana itu.
Dibaliknya, ada suatu sistem yang bekerja sebagai kekuatan struktural yang merasuk masuk dalam kehidupan keseharian kita.
Ironisnya kekuatan tersebut kerap menempatkan pihak-pihak yang ada didalamnya dalam posisi yang berlawanan bahkan saling menguasai dalam kekuatan yang kerap tidak seimbang.