Hal ini dihadirkan sebagai konflik, yang memunculkan aparat keamanan sebagai tokoh, baik sungguhan atau yang gadungan. Tensi berbeda muncul dari adegan potong rambut atau tahapan mengurus KTP. Ketegangan yang mengesankan kesumiran film ini muncul melalui simbolisasi yang tak kentara.
Seperti ambigunya olahraga bulutangkis yang pada waktu itu menjadi bagian propaganda militer untuk menyusup dalam kehidupan sosial masyarakat, minuman Coca-cola dan sabun dalam film menjadi pilihan sikap Anggi dalam memandang politik kekinian.
Dalam hal ini Gunawan Maryanto berhasil membawakan konflik batin, suasana hati dan karakter Wiji Thukul lewat gesture tubuh, aksen khas cadel dan tatapan mata yang nanar, dengan mengesankan.
Dan Anggi berhasil merekamnya dengan baik dalam sebagian besar frame film yang berjalan lambat, close up dan diisi paling banyak oleh tiga orang.
Film menjadi kental dengan nuansa kewaspadaan, kecurigaan dan pengawasan, tapi tetap menyediakan ruang pengorbanan dan kesetiakawanan dari para tokoh yang membantu Wji selama pelarian.
Penting juga ketika Anggi tidak lupa menyusur drama tentang keluarga yang ditinggalkan: penantian istri Wiji Thukul, Sipon (Marissa Anita) yang harus menanggung sepi, intimidasi aparat negara dan godaan dari tetangga. Sementara Wiji dengan perjuangannya, maka keduanya sama-sama menanggung beban.
Dan kesemuanya itu diselesaikan dengan elegan dan dramatis: Wiji yang pergi direspon Sipon dengan menyapu sambil sedikit-sedikit terisak -- semacam pernyataan bahwa meski suaminya menghilang, ada hidup yang mesti dibereskan, mesti dilanjutkan. Kita pun demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H