Dalam bahasa Jawa, “cangkem” itu artinya mulut. Dalam konteks tertentu, “cangkem” itu berkonotasi negatif. Untuk ungkapan yang lebih halus, biasanya dipakai kata “Tutuk.” Selama dua hari, 15 dan 16 Juli, aku dan teman-temanku mengadakan aktivitas yang berkaitan dengan mulut. Pertama, wisata kuliner yaitu aktivitas mencicipi makanan. Kedua, menjadi fasilitator di tiga pelatihan. Aktivitas ini juga melibatkan mulut. Inilah catatan hari kedua saat kami di Purwokerto: Hari kedua di Purwokerto, kami disambut selimut kabut. Mas Arie sudah lebih dulu bangun dan asyik bersaat-teduh di depan laptopnya. Sebelum sarapan, aku menyambar kamera untuk sarapan mata lebih dulu. Pukul 6, jalan mulai dipadati kendaraan. Aku putuskan untuk mengunjungi Taman Makam Pahlawan "Tanjung Nirwana," yang hanya berjarak 500 meter dari hotel. Gerbang utamanya digembok. Mustahil untuk masuk ke dalam. Makam ini dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan lagi oleh tembok. Bagian depan adalah tanah kosong dengan tugu serupa menhir di bagian tengah. Barangkali di sini sering dipakai untuk upacara. Sedangkan di bagian belakang adalah wilayah pemakaman, namun sayangnya tidak terlihat karena tertutup pagar tembok. Di sekeliling pemakaman ini, terdapat perkampungan yang cukup padat. Melalui celah-celah pagar, aku melihat papan pengumuman terpancang. Isinya beberapa perintah dan larangan: Pengunjung harus hormat kepada arwah. Batinku, bagaimana sih cara menghormat pahlawan? Apa dengan melingkari makamnya dengan pagar terkunci itu membuatnya dihormati? Pengunjung juga dilarang mengembangkan payung dan berkacamata hitam. Hmmm....sampai saat ini aku belum paham alasan larangan ini. Apakah payung hitam dan kacamata hitam itu melecehkan pahlawan? Bukankah payung akan melindungi pengunjung dari terik dan kacamata melindungi mata dari silau matahari? Dengan demikian maka pengunjung lebih berkonsentrasi dalam "menghormati" pahlawan? Karena masih diselimuti kabut, tak banyak yang dapat dinikmati secara visual. Aku pun melangkahkan kaki pulang. Di sepanjang jalan, aku mencoba merekam detil-detil unik yang barangkali tidak disadari oleh orang Purwokerto sendiri. [caption id="" align="aligncenter" width="268" caption="Nama gang yang mengagungkan Tuhan"]
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kurang tinggi? Di sini badan pasien langsung ditarik. Hi......."]
[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Muncul lagi? Sebelumnya kemana?"]
Sesampai di hotel, sudah terhidang teh manis, telur rebus dan garam. Aku jadi ingat teringat pengalaman KKN di Kalimantan Selatan. Ada mahasiswa yang masuk ke warung makan. Dia memesan nasi sayur. Lauknya telur asin. Saat dimakan, mahasiswa ini heran karena telurnya berasa tawar. "Saya tadi memesan telur asin, lho," protes mahasiswa pada pemilik warung. "Itu telurnya, ini garamnya," kata pemilik warung sambil menyorongkan segelas bubuk garam. Olala...ternyata pengertian tentang telur asin di Jawa itu berbeda dengan di Kalimantan Selatan. Karena alergi telur, aku tidak menyentuhnya. Aku hanya menyeruput teh manis. Sebagaimana kebiasaan waktu kecil, aku tidak terbiasa sarapan. Jadi tidak begitu risau bila tidak ada makan lagi. Pukul 9, kami bersiap di GKJ Purwokerto. GKJ Purwokerto termasuk gereja yang sudah tua. Menurut sejarah, kekristenan di kabupaten Banyumas disebarkan oleh orang awam yaitu Ny. Van Oostrom Philips, seorang pengusaha batik pada tahun 1858. Dari pemberitaan ini, ada ada sembilan orang yang terpanggil dan kemudian menerima baptis suci pada tanggal 10 Oktober 1858 di Semarang. Mereka inilah merupakan "cikal-bakal" dari GKJ Banyumas. Akan tetapi baru tujuh tahun kemudian pemerintah Belanda memberikan izin penyebaran agama Kristen di wilayah Karesidenan Banyumas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak benar bahwa agama Kristen itu dibawa oleh penjajah. Memang benar, agama Kristen disebarkan oleh gereja dari Belanda, namun mereka tidak ditugaskan atau diutus oleh pemerintah. Di berbagai tempat, pemerintah Hindia Belanda justru sering melarang dan menghambat penyebaran agama Kristen di wilayah mereka karena dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan ekonomi dan politik penjajah. Kekristenan di Purwokerto sendiri bermula dari desa Grendeng pada tahun 1885 yang dirintis oleh guru Injil bernama Yosua Dangin. Orang-orang Kristen di Grendeng kala itu mengikuti kebaktian di Purbalingga. Karena jarak yang jauh maka mereka berangkat pada hari Sabtu menginap di Purbalingga dan pada pagi harinya mengikuti kebaktian. Kelompok orang Kristen di Grendeng semakin bertambah, maka pada tahun 1915 ditempatkan seorang Guru Injil bernama M. Ngirat Asah. Pada bulan Agustus 1919 Pepanthan Grendeng ini ditetapkan menjadi Jemaat yang Dewasa. Sementara itu kelompok orang-orang Kristen di kota Purwokerto yang merupakan pepanthan dari Gereja Grendeng juga semakin berkembang. Salah seorang yang giat dalam memajukan Jemaat adalah R. Urip Simeon. Pada tanggal 3 Februari 1929 pepanthan Purwokerto ditetapkan menjadi jemaat yang dewasa. Tempat kebaktian di gedung Gereja yang terletak di Jl. Kauman Lama yang dibangun sekitar tahun 1926/1927 (sekarang gedung Gereja itu dipakai untuk TK/SD Kristen 02). Jemaat Purwokerto semakin berkembang sementara jemaat di Grendeng semakin surut. Maka pada tahun 1936 jemaat Grendeng digabungkan ke Purwokerto, dengan demikian Grendeng justru menjadi pepanthan Jemaat Purwokerto.
***
Agenda pagi ini adalah pelatihan menulis. Peserta sudah datang. Dimulai terlambat 30 menit, mbak Tina memulai sessi pertama dengan memaparkan alasan perlunya menulis. Peserta dimotivasi tentang nilai-nilai luhur di balik aktivitas menulis. Giliran berikutnya adalah mas Arie Saptaji. Dia membagikan cara-cara untuk membuat kebiasaan menulis. Beberapa penulis pemula biasanya merasa berat untuk memulai menulis. Atau jika sudah mulai menulis, di tengah jalan dia tiba-tiba kehabisan gagasan atau mendapat writer block. Kesulitan itu bisa diatasi jika orang tersebut sudah memiliki kebiasaan menulis. Di sinilah mas Arie membagikan tips-tipsnya. Sementara mas Arie "mengecer cangkem", kami menyantap nasi dan ayam di ruang bawah. Aku mendapat giliran pamungkas untuk membagikan kiat-kiat menguangkan tulisan. Sebenarnya ada banyak peluang untuk mengubah tulisan kita menjadi uang. Bukan dengan dengan sulap, bukan dengan sihir, bukan pula dengan doa puasa, melainkan dengan ketekunan dan keuletan.
Iseng-iseng, mbak Tina melihat kaos-kaos rohani yang dijual di sana. Saat aku melihat desain kaosnya, tiba-tiba aku merasa begitu mengenal kaos ini. Karena penasaran, aku memeriksa label kaos ini. Dugaanku benar. Kaos ini berlabel Trinity, yang diproduksi oleh anggota jemaatku di Klaten. Uniknya, pembuat kaos ini punya toko rohani yang namanya sama persis dengan toko di sini. Apakah keduanya ada hubungan khusus? Entahlah!
[caption id="" align="aligncenter" width="268" caption="Oleh-oleh di jl Tanjung"]
Kami kembali ke GKJ Purwokerto untuk menjemput mas Arie dan cari makan siang. Ternyata dia masih asyik bercakap-cakap dengan temannya. Apa boleh buat, kami harus menghentikan percakapan mereka. Kami justru mengajak teman mas Arie itu sebagai penunjuk jalan kuliner. Karena belum begitu lapar, maka kami mencari oleh-oleh lebih dulu di jalan Tanjung. Di jalan ini, ada empat toko yang menjajakan oleh-oleh khas Purwokerto, yaitu tempe kripik dan mendoan. Di bagian depan, pemilik toko menaruh dua wajan raksasa untuk menggoreng tempe kripik. Ini adalah atraksi yang menarik. Tempe yang digoreng pun berukuran jumbo. Kira-kira dua kali telapak tangan anak remaja.
Pengunjung bisa langsung menikmati tempe mendoan. Yang dimaksud tempe mendoan adalah tempe kedelai yang dicelup ke dalam adonan tepung beras berbumbu. Tak lupa disertakan irisan daun bawang. Menggorengnya hanya sebentar sehingga hanya setengah matang. Itu sebabnya dinamakan mendoan. Dalam bahasa setempat, mendo berarti setengah matang. Cara makannya adalah dengan dicelupkan pada semangkok kecil kecap pedas. Jika pembeli ingin membawa pulang sebagai oleh-oleh, mereka bisa membeli tempe yang masih mentah, tepung berbumbu dan sebotol kecap. Untuk satu paket sebesar satu besek kecil, pembeli harus merogoh kantong yang lumayan dalam, yaitu Rp. 20 ribu. Oleh-oleh lain yang menjadi khas di sini adalah tempe kripik, yaitu tempe tipis yang dicelup ke dalam adonan tempe mendoan. Bedanya, kripik digoreng lebih lama sehingga menjadi renyah atau krispi. Jika digigit terdengar bunyi "kripik...kripik." Itulah asal namanya. Pengunjung juga bisa membeli nopia dan gethuk goreng. Dua jajanan yang terakhir ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai oleh-oleh khas Sokaraja, sebuah kota kecil di timur Purwokerto. Puas membeli oleh-oleh, kami meluncur ke arah GOR untuk mengisi perut. Akan tetapi niat makan siang justru teralihkan setelah melihat es duren. Konon, es duren ini terkenal enak. Maka kami pun jatuh ke dalam pencobaan. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Es Duren"]
Dengan mendoan raksasa dan semangkok duren yang berpindah ke perut, maka kami sudah tak bernafsu lagi untuk mencari makan siang. Kami putuskan untuk kembali ke GKJ Purwokerto. Mas Arie kembali terlibat perbincangan seru dengan temannya. Sedangkan aku memutuskan untuk memejamkan mata di kursi kayu panjang tua berbalut rotan. Lelap selama 30 menit sudah cukup untuk memulihkan kembali tenaga untuk menjadi fasilitator pada acara berikutnya. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Ice Breaker"]