Perjalanan pelayanan ke Medan berubah menjadi reuni. Bagaimana tidak. Penerbangan dari Jogja ke Jakarta saya duduk bersebelahan dengan mbak Rita yang berasal dari Wonosari. Kami sama-sama berkelahiran ibukota Gunungkidul itu. Tidak hanya itu kesamaan kami. Mbak Rita adalah kakak dari adik ipar saya. Adik laki-lakinya menikah dengan adik perempuan saya. Ini adalah kejutan karena kami tidak janjian untuk duduk bersebelahan. Dia terbang ke Jakarta dalam rangka mengikuti seminar ke Yunani. Sesampai di Jakarta, saya dan mbak Tina, --teman seperjalanan--, menyempatkan diri untuk sarapan di bandara. Sebelumnya kami belum sempat mengisi perut karena harus sudah check in sebelum pukul 06.30 di bandara Adicupto, Yogyakarta. Kami memesan dua mangkuk soto dan dua gelas teh manis seharga Rp. 66 ribu. Cukup mahal memang. Tapi apa boleh buat, kami tidak punya waktu banyak karena harus terbang lagi ke Medan.
Sesuai dengan yang tertulis di tiket, kami masuk ruang tunggu di gate B4. Setelah menunggu sekitar setengah jam, saya punya perasaan tidak enak. Pengalaman saya dengan maskapai ini adalah jangan percaya dengan informasi di tiket atau di layar monitor. Penumpang harus  mengupdate kabar dengan bertanya pada petugas di darat. Firasat saya benar. Setelah saya tanya ke petugas, ternyata gerbang keberangkatan dipindah ke B1. Untung masih ada cukup waktu untuk berpindah ke sana. Begitu sampai di sana, ternyata sudah mulai boarding. Saya melihat ada kejanggalan. Di ruang tunggu itu ada dua penerbangan ke Medan yang boardingbersamaan. Yang satu berangkat dari pintu kiri, dan yang satunya berangkat dari pintu yang kanan. Maka terjadilah kekacauan. Penumpang yang harus melalui pintu kanan dan terlanjur berada di sayap kiri harus bergerak ke kanan. Demikian juga sebaliknya. Akibatnya terjadi aksi dorong. Suasananya semakin kacau saat diumumkan bahwa dua penerbangan diberangkatkan dalam satu pesawat. Untuk itu, pengaturan nomor kursi penerbangan dihapuskan. Penumpang bebas memilih tempat duduknya sendiri. Akibatnya penumpang berebut berangkat duluan karena ingin mencari tempat duduk yang paling enak. Ternyata pesawatnya diparkirkan di terminal 2. Untuk itu kami harus naik bis shuttle. Begitu sampai di sana, pesawat berbadan lebar jenis 747-400 telah menunggu. Barulah saya mudheng. Maskapai ini memasukkan dua penerbangan reguler ke Medan ke dalam satu pesawat besar. Penerbangan kami digabungkan dengan penerbangan sebelumnya yang telah tertunda keberangkatannya selama dua jam. Begitu turun dari bis, penumpang menghambur masuk ke dalam pesawat untuk memilih kursinya sendiri. Saat sedang tengak-tengok mencari kursi, tiba-tiba ada orang yang memanggil saya. Saya kaget dan mencari sumber suara itu. Astaga! Rasanya saya mengenal wajah orang itu. Tapi siapa ya? "Eh, kamu ke Medan juga?" kata saya. "Iya, saya pindah ke Medan" jawab orang itu. "Aku cari kursi dulu ya. Nanti kita mengobrol lagi," kata saya sembari berharap dapat mengumpulkan ingatan tentang orang ini. Setelah mendapat kursi dan selama menanti pesawat mengudara, saya mulai ingat. Orang ini adalah adik kelas saya di SMAN 1 Wonosari. Namanya Marsono. Sekali lagi saya bertemu dengan orang sekampung! Mungkin ini yang disabdakan simbah John Naisbitt sebagai "global paradox." Semakin kita mengglobal, maka semakin kita menjadi mirip sebuah kampung. Meski pertambahan penduduk dunia mengalami akselerasi, namun anehnya hubungan antar manusia justru lebih merekat. Itu berkat jasa teknologi komunikasi dan transportasi. Penerbangan selama 2,5 jam ini terasa sangat nyaman. Dengan menumpang pesawat berbadan besar, hampir tidak terasa goncangan saat pesawat mengalami turbulensi. ***
Kedatangan kami ke Medan dalam rangka memenuhi undangan Sekolah Minggu "Lentera Kasih." Kami menjadi fasilitator dalam "Seminar Cara Jitu Bikin Seru Sekolah Minggu" di aula STT Baptis, 14 Juli 2012. Lima hari sebelum berangkat, ada perasaan tidak enak karena peserta seminar baru terdaftar 20 orang. Saya merasa kasihan dengan Ervinna dan Tina karena pasti mengeluarkan ongkos yang besar untuk mendatangkan kami berdua.  Kalau pesertanya sedikit, apa mereka bisa menutup ongkos produksinya? Akan tetapi sehari sebelum berangkat, ada perkembangan dramatis. Jumlah peserta bertambah secara drastis. "Sudah ada 120 orang yang mendaftar" bunyi SMS Ervina. Begitulah kelakuan kebiasaan orang Indonesia. Mereka baru mendaftar menjelang detik-detik terakhir penutupan. Ini yang membuat panitia senam jantung. Hingga hari pelaksanaannya, jumlah peserta membengkak menjadi 150-an peserta. "Jumlah ini saja sebenarnya bisa bertambah lagi," jelas Ervina. Dia menjelaskan ada gereja yang sedang punya gawe pada hari yang sama. Jika tanggal pelaksanaannya tidak berbarengan maka gereja ini bisa mengirimkan peserta dalam jumlah yang sangat banyak. Antusiasme Guru Sekolah Minggu di Medan patut diacungi jempol. Sessi pertama diisi oleh Agustina Wijayani dengan tema melibatkan orangtua dalam aktivitas di Sekolah Minggu. Menurut mbak Tina, orangtua sebaiknya ikut turut terlibat dalam mendampingi anak dalam masa pertumbuhan rohaninya. Orangtua tidak bisa hanya menyerahkan tanggungjawab pembinaan rohani pada gereja mengingat sebagian besar hidup anak justru dihabiskan bersama orangtua. Untuk itu mbak Tina menawarkan beberapa metode yang dapat digunakan agar orangtua dapat berpartisipasi dalam pelayanan kepada anak. Saya mendapat giliran pada sessi kedua. Saya membagikan tips-tips praktis agar acara Sekolah Minggu bersuasana seru dan selalu ditunggu. Untuk itu saya mengajarkan beberapa permainan. Walau kelihatannya hanya main-main, namun sebenarnya aktivitas permainan ini dapat menjadi saalah satu sarana untuk mengajarkan firman Tuhan. Anak-anak itu belajar sesuatu melalui berbagai cara: Dengan melihat, membaca, mendegar, melakukan, merasakan dll. Dengan menggunakan permainan, anak-anak dapat mengoptimalkan kerja panca indra dalam proses belajar.
Peserta membludak
Antusias menyimak
Saya juga mengajarkan beberapa trik sulap yang dapat digunakan untuk menarik perhatian anak. Bolehkah sulap digunakan dalam acara Sekolah Minggu? Boleh, asal dalam sulap tidak mengajarkan bahwa pesulap dengan kekuatan roh tertentu dalam melakukan aksinya. Sebelum pertunjukkan Guru Sekolah Minggu terlebih dulu menjelaskan bahwa aksi sulap ini adalah trik atau ketrampilan yang dapat dipelajari. Karena sulap menggunakan trik, apakah itu berarti mengajarkan anak-anak bahwa menipu itu boleh? Untuk menjawab ini, kita menggunakan analogi film laga. Apakah aktor dalam film itu ditembak dengan peluru asli? Apakah pemeran penjahatnya benar-benar mati? Tentu saja tidak. Semua itu hanya kisah rekaan. Penontin tahu bahwa mereka sedang ditipu dengan adegan rekaan. Akan tetapi mereka tetap menikmati film itu. Demikian juga dalam pertunjukan sulap. Penonton sebenarnya sadar kalau sedang ditipu, namun mereka menikmati pertunjukan itu. Di dalam pelayanan, sulap tidak hanya untuk menyegarkan suasana namun juga harus menyelipkan pesan-pesan firman Tuhan. Saat istirahat, saya berbincang dengan seorang Guru Sekolah Minggu. Dia becerita bahwa dulu dia bergereja di GKI Prambanan. Wheladalah, jauh-jauh ke Medan, ujung-ujungnya bertemu dengan orang sekampung lagi. Dulu, sebelum didewasakan, GKI Prambanan adalah bakal jemaat dari GKI Klaten, yaitu tempat saya bergereja saat ini.
Workshop dengan playdough
Membuat boneka dari sendok plastik
Selepas makan siang, peserta dibagi menjadi 15 kelompok untuk sessi workshop alat peraga. Ada tiga jenis alat peraga yang dibuat yaitu playdough, papercraft dan boneka sendok. Karena keterbatasan waktu dan peralatan maka peserta tidak bisa mencoba semuanya. Untuk itu kelompok 1-5 membuat alat peraga dari playdough. Kelompok 6-10 membuat alat peraga dari papercraft. Dan kelompok 11-15 membuat alat peraga menggunakan sendok plastik. Sessi workshop ini berlangsung sangat dinamis karena masing-masing GSM mengeluarkan kemampuan kreatifnya. Hasil karya mereka sungguh menakjubkan. Meski dengan peralatan seadanya dan waktu yang terbatas, namun mereka berhasil menciptakan alat peraga yang sangat menarik.
Ini adalah peraga dari playdough yang menggambarkan ketika kapal nabi Nuh terdampar di gunung Ararat. Setelah air surut, maka hewan-dhewan keluar dari bahtera dan turun gunung.
Peraga untuk cerita Yunus ditelan ikan besar
Tuhan Yesus, Gembala yang baik
Zakeus memanjat pohon ara
Papercraft
Di akhir acara, dua kelompok diberi kesempatan untuk menampilkan alat peraga mereka. Karena keterbatasan waktu, kami tidak sempat untuk memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya atau memberi umpan balik. Namun dari masukan secara tertulis, hampir semua peserta merasa puas dan dapat mengambil banyak manfaat dari seminar ini. Bahkan ada yang meminta untuk diadakan lebih lama lagi. Ada juga yang menyarankan agar saat memberikan peragaan sulap, ada kamera video yang meng-close-up dan menayangkan pada layar besar sehingga peserta yang ada di belakang dapat juga melihat. Itu saran yang bagus. **** Usai seminar, Ervina mengajak kami mengunjungi gereja Maria Annai Velangkanni yang berarsitektur Indo-Mongulnya. Mengenai keunikan dan keindahan tempat ibadah ini, akan saya tulis dalam blog tersendiri. Rupanya Ervina tahub bahwa saya suka motret-motret. Maka dia sengaja mengajak saya ke sini supaya saya bisa melepaskan nafsu sepuasnya. Saat senja menjelang, langit Medan mendadak dihiasi mendung. Kami meluncur ke arah Medan Baru untuk mencari makan malam. Saya memesan mie pangsit dan minuman ringan cap "Badak." Ini adalah minuman ringan bikinan pabrike es Siantar, rasa Sarsaparilla. Kami bersantap di bawah guyuran hujan yang sangat deras. Selesai bersantap malam, perut menjadi kenyang karena porsinya sangat besar. Porsi makanan di Medan ini memang berlebih. Entah ini stereotype atau tidak, namun orang Medan rata-rata makan dalam jumlah banyak. Itu sebabnya, rumah makan di sini biasanya langsung menyajikan nasi putih tambahan, sekalipun itu tidak diminta sebab biasanya orang di Medan tidak cukup kalau hanya makan sepiring nasi. Itu adalah kata orang Medan sendiri. Mohon maaf kalau kesan ini salah.
Perjalanan kuliner dilanjutkan ke toko roti Meranti. Ini adalah oleh-oleh khas Medan. Begitu larisnya roti ini sehingga kami harus memesan malam itu juga supaya kami bisa mengambilnya esok paginya sebelum pulang kampung. Wisata kuliner malam itu dipungkasi dengan pesta durian. "Kalau mas Wawan ke Medan itu belum afdol kalau belum makan durian medan," kata Ervina. "Jadi, meskipun perut sudah kenyan, maka harus tetap mencicipi durian," tambah Tina Hutabarat. "Wah saya tidak mau," jawab saya. "Saya tidak mau kalau cuma sedikit," lanjut saya, bercanda. Meskipun perut sudah sangat kenyang, namun demi durian maka makanan yang di perut dimampatkan lagi supaya tersisa ruang. Kami nongkrong di lapak durian "bang Ucok." Ada segunung durian yang siap disantap. Setiap hari, lapak ini menyediakan durian sebanyak 3 bak pick up, dan itu selalu habis! Dashyatnya lagi, durian di sini tidak mengenal musim. Setiap hari selalu ada durian. Melihat durian yang melimpah seperti ini, maka saya seperti anak ayam yang dilepas di lumbung padi. Berbeda dengan di Jogja atau Klaten, penjual durian di sini menyediakan kursi dan meja. Pembeli yang ingin makan di tempat bisa menikmati durian dengan nyaman. Selain itu juga disediakan kobokan, lap dan air putih. Pembeli punya dua pilihan: Durian yang manis atau durian yang agak pahit. Itu tergantung selera. Harganya sama. Yang menarik, jika pembeli menilai bahwa durian yang disantapnya kurang manis, maka mereka boleh meminta ganti durian lain tanpa biaya tambahan. Selain itu, ada juga fasilitas packing jika ingin membawa durian medan ke dalam pesawat. Penjual akan mengeluarkan isi durian dan memasukkannya di dalam wadah plastik yang tertutup rapat. Setelah itu bagian luarnya dibungkus dengan daun pandan atau ditaburi dengan bubuk kopi untuk menyamarkan baunya. Malam itu kami beristirahat dengan puas. Puas lahir dan batin.
*** Pukul delapan pagi, Ervina dan mbak Tina mengambil pesanan oleh-oleh ke toko roti Meranti. Setelah itu meluncur ke bandara Polonia. Saat check in, penerbangan kami dialihkan ke penerbangan berikutnya. Mestinya kami terbang jam 11, namun dialihkan ke jam 12. Alasannya karena data yang tertera di tiket tidak sesuai dengan data di komputer. "Bapak masih punya waktu dua jam untuk mengejar penerbangan berikutnya ke Yogyakarta," kata petugas di counter check in. Waktu dua jam itu adalah hitungan waktu normal. Namun untuk maskapai ini, ketepatan waktu adalah hal yang abnormal bagi mereka. Benar saja, keberangkatan kami ke Jakarta mengalami penundaan. Akibatnya, kami tidak punya banyak waktu untuk mengejar penerbangan berikutnya. Begitu mendarat di Jakarta, kami harus naik bis shuttle untuk pindah terminal. Setelah itu melapor di meja transit, waktu sudah mendekati saat untuk boarding. Maka kami memutuskan untuk membeli nasi bungkus untuk dimakan di ruang tunggu. Sama seperti saat keberangkatan, membeli makanan di bandara itu bisa membuat miskin. Nasi plus sayur sawi dengan lauk dua tempe dan sebongkah perkedel dibandrol dengan harga Rp. 32 ribu! Apa boleh buat. Begitu sampai di ruang tunggu, menurit jadwal di tiket kami hanya punya waktu 5 menit sebelum naik pesawat. Dengan cepat-cepat kami segera menyantap nasi bungkus itu, seandainya nanti tidak bisa menghabiskan makanan karena kehabisan waktu, setidaknya sudah ada beberapa sendok telah masuk ke perut. Itu cukup untuk memberi tenaga sampai ke Jogja. Ternyata dugaan kami meleset. Meski nasih telah disantap hingga tandas, ternyata panggilan untuk masuk pesawat belum terdengar. Kami mendapat bonus dele (baca: delay) lagi,
Berikut ini cuplikan videonya. Sessi I Sessi II Sessi III
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Foodie Selengkapnya