[caption id="attachment_330601" align="alignnone" width="578" caption="Adegan Bentrokan | foto: Purnawan Kristanto"][/caption]
Nyaris terjadi bentrok antar agama di desa Samirukun. Dua kelompok massa yang membawa pentungan dan obor dengan wajah garang bertemu di tengah desa. Kelompok Kristen marah karena pendetanya dicoba diracun. Kelompok Islam marah karena kota infaq mereka dicuri. Akan tetapi bentrokan berhasil dicegah oleh pemuka agama.
Ini adalah adegan puncak dari film pendek yang diproduksi oleh Forum Kebersamaan Umat Beragama (FKUB) di Klaten. Saya diberi tanggungjawab untuk menjadi produser film ini dengan anggaran nol rupiah alias tidak ada dana sekali. Ide pembuatan film muncul dalam sebuah pertemuan arisan lintas agama pada tahun 2013. Para pemuka agama di Klaten memiliki tradisi untuk berkumpul sebulan sekali dalam wadah arisan. Dalam pertemuan yang berlangsung santai ini dimanfaatkan untuk bertukar informasi dan membahas situasi sosial terkini. Dalam arisan itu, mereka gelisah melihat maraknya aksi intoleran dan gejala masyarakat yang mudah tersulut emosi.
Lalu muncul gagasan memproduksi film pendek untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Karena saya baru saja pulang dari pelatihan Peace Building di Mindanao, Filipina, maka FKUB di Klaten memberikan kehormatan kepada saya untuk memproses gagasan ini. Para pemuka agama menyepakati ide deasar cerita, kemudian bersama-sama dengan pemuda Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klaten kami mematangkannya di dalam sebuah skenario film. Pemuda-pemuda GKJ ini pernah dilatih oleh sebuah rumah produksi untuk memproduksi film indie.
Pada bulan Oktober 2013, kami memulai pengambilan gambar film dengan lokasi syuting di pondok pesantren At-Muttaqien, Klaten. Pemain-pemainya dalam film ini berasal dari berbagai agama dan mereka belum ada yang pernah berakting di depan kamera. Kami menyebutnya sebagai artis-artis yang "disegani." Mengapa "disegani"? Karena imbalan bagi mereka cukup sebungkus nasi padang untuk sekali syuting. "Disegani" dalam guyonan jawa artinya diberi nasi (sega=nasi).
[caption id="attachment_330609" align="alignnone" width="610" caption="Syuting dengan peralatan seadanya | foto Purnawan Kristanto"]
Peralatan yang digunakan juga seadanya saja. Kami menggunakan kamera DSLR. Untuk merekam suara, kami menggunakan mixer 5 channel yang langsung direkam di laptop. Untuk penerangan, kami memanfaatkan sinar matahari dan untuk dalam ruangan, kami menggunakan lampu TL yang telah dimodifikasi.
Kendala utama yang dihadapi adalah cuaca dan penjadwalan pemain. Saat syuting, musim sudah memasuki awal musim hujan. Pada syuting pertama, udara sangat panas. Setelah syuting satu scene, mendadak kami diterpa angin ribut yang membuat kami kocar-kacir menyelamatkan peralatan. Akibatnya satu lampu pecah karena terbanting. Angin ribut ini ternyata cukup besar karena menerbangkan atap-atap rumah dari seng, menghempaskan billboard iklan, dan menumbangkan beberapa pohon. Hujan juga pernah menghentikan syuting. Untuk menyiapkan tempat dan mengatur perlatan dibutuhkan minimal satu jam. Begitu semuanya sudah siap, sutradara berteriak: "Kamera, rolling, action!" Seperti dikomando, tiba-tiba hujan mengguyur dengan deras. Dan syuting pun batal.
Persoalan penjadwalan juga menjadi masalah. Para pemimpin agama yang ikut main dalam film ini memiliki kesibukan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pendeta memiliki waktu luang pada hari Kamis dan Jumat, sedang hari itu adalah hari yang sangat sibuk bagi ulama Islam. Sebaliknya pada hari Sabtu-Minggu adalah hari sibuk bagi pendeta dan cukup luang bagi ulama Islam. Jadi kami mengalami kesulitan mencocokkan jadwal terutama jika mereka harus beradu akting.
[caption id="attachment_330611" align="alignnone" width="560" caption="Pendeta dan Ulama adu akting | foto: Purnawan Kristanto"]
Diputar di Berbagai Komunitas
Film yang berjudul RIP (Rukun Itu Perlu) ini sengaja dikemas bernuansa komedi. Tujuannya untuk menarik minat penonton. Film ini telah selesai diproduksi dan akan diputar di semua komunitas anggota FKUB Kebersamaan. Selain itu, juga digandakan dalam bentuk keping DVD dan dikirim ke berbagai lembaga yang peduli pada perdamaian. Saat ini, film ini telah diputar di kota-kota Denpasar, Semarang, Bekasi, Yogyakarta, Palu, Purwokerto, Lampung, Surabaya, Bandung, Jakarta, Tangerang, Surakarta, Jayawijaya (Papua), Medan, Salatiga, dan Sukabumi.
Sedangkan untuk Klaten, pemutaran perdana diselenggarakan di lokasi syuting yaitu di pondok pesantren At-Muttaqien bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI. Pemutaran layar tancap ini ditonton oleh lebih dari 200 warga, yang sebelumnya diawali dengan pertunjukkan seni.
[caption id="attachment_330617" align="alignnone" width="645" caption="Atas: pemain dan crew film. Bawah: Suasana nobar Film RIP | Foto: Purnawan"]
Harapan
Film ini adalah upaya untuk merawat multikuluralisme di Klaten. “Masyarakat Klaten memiliki sejarah panjang sebagai masyarakat plural yang hidup berdampingan dengan damai,” ujar kyai haji Jazuli Kasmani, koordinator FKUB Kebersamaan Klaten.
“Sejarah mencatat pada abad ke-9, ada dua kelompok agama yang hidup damai di Klaten yaitu agama Hindu Syiwa dari dinasti Sanjaya dan agama Budha Mahayana dari wangsa Syailendra,” tambah pengasuh pondok pesantren At Muttaqien ini. Masuknya agama Islam, Kristen dan Kong Hu Cu ke wilayah Klaten semakin menambah pluralitas masyarakatnya. Meski demikian, setiap komunitas dapat menjalankan ibadah dan diakui keberadaannya. Tidak hanya itu, di antara pemeluk agama juga hidup berdampingan dengan damai serta dapat bekerja sama. Di dalam wadah Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB), masyarakat Klaten lintas iman mengadakan aksi-aksi bersama. Misalnya: aksi penjualan kebutuhan pokok dengan harga murah, pemeriksaan kesehatan gratis, merespon bencana dan melakukan penghijauan.
“Pembuatan film ini juga memberi bukti bahwa antar umat beragama sebenarnya dapat bekerja sama untuk bangsa ini,” papar ulama yang biasa disapa gus Jaz ini.
***
Inilah aksiku untuk Indonesia. Saya berharap film ini dapat mempromosikan nilai-nilai perdamaian seperti toleransi, harmonis, dan inklusif.
Film "Rukun itu Perlu" yang berdurasi 43 menit ini dapat ditonton secara online di sini
[caption id="attachment_330622" align="alignnone" width="611" caption="Poster RIP. Foto: DVD FKUB"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H