Rawa Jombor menjadi tempat wisata andalan kabupaten Klaten. Cekungan air dengan luas 198 hektar ini dimanfaatkan untuk memelihara ikan dan tempat warung makan terapung. Dengan memafaatkan drum sebagai pelampung, kemudian membuat rangkaian bambu di atasnya, maka terbentuklah warung makan apung yang berjarak sekitar 50 meter dari bibir rawa. Untuk mencapainya maka pengunjung manfaatkan rakit ponton yang ditarik dengan tenaga manusia.
Sayangnya, sang waktu mulai menggerogoti warung apung ini. Beberapa bagian dari warung apung mulai keropos. Saat keluarga saya berkunjung ke sana, pada hari Senin (26 Maret), kami mendapati dermaga rakit penyeberangan pada salah satu rumah makan telah miring karena salah satu pelampungnya telah rusak. Kemudian seperti tampak pada foto di atas, salah satu warung makan apung bahkan sudah roboh dan dibiarkan tak terurus.
Dari sisi makanan, menu yang ditawarkan tidak banyak variasi: Antara ikan bakar atau goreng, udang, ca kangkung atau trancam. Soal rasa pun juga tidak terlalu istimewa. Bahkan hari itu saya mendapati ikan gurame tidak dibersihkan dengan baik. Masih ada sisa-sisa kotoran.
Kemudian dari sisi kebersihan, saya melihat kucing-kucing berkeliaran dan mendekati hidangan di meja makan lesehan. Mungkin pemilik warung sengaja memelihara kucing untuk mengusir tikus, akan tetapi kehadiran kucing itu membuat pengunjung tidak nyaman karena harus menyantap makanan sambil sesekali mengusir kucing yang mendekat.
Persaingan antar warung makan memunculkan ide untuk menyajikan pertunjukan musik (live music) pada hari Minggu dan libur. Jenis musik yang diusung biasanya campursari, dangdut atau nostalgia. Agar ongkos tidak besar, maka biasanya pertunjukan musik itu berupa organ tunggal, atau sesekali ditambahi pemain ketipung. Pada hari biasa, pengelola warung memutar lagu lewat pengeras suara mereka, yang kadang alih-alih menghibur, justru memekakkan telinga. Pengunjung terpaksa harus mengobrol sambil berteriak untuk menyaingi iringan musik itu.
Kompetisi yang ketat juga mendorong tindakan nekat. Pada jalan sepanjang 200 meter, para pemilik warung menyuruh orang untuk membujuk pengunjung yang lewat agar masuk ke warung mereka. Pada zaman dulu, mereka hanya melambaikan tangan sambil berseru agar bersedia berhenti. Tapi sekarang mereka lebih nekat. Para pelambai ini berani mencegat kendaraan pengunjung dengan berdiri di tengah jalan, dan dengan setengah memaksa agar berhenti. Jika pengemudi tidak berhati-hati, maka para pelambai ini bisa tertabrak.
Saya berharap pihak yang berwenang segera menyadari situasi saat ini. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan Rawa Jombor. Saya hanya tidak ingin tempat wisata ini mulai sepi dari pengunjung karena mereka kecewa tapi hanya diam saja. Mereka tidak menyuarakan ketidakpuasan mereka, tapi hanya tidak mau lagi pergi ke tempat itu. Justru karena sikap diam ini maka pengelola Rawa Jombor tidak tergugah untuk melakukan pembenahan. Semoga ada yang membaca tulisan ini dan ambil tindakan yang diperlukan untuk merevitalisasi lagi Rawa Jombor. Saya mendengar kabar bahwa akan ada upaya pengerukan karena Rowo Jombor mulai mengalami sendimentasi. Â Alangkah baiknya, setelah pengerukan usai, lalu dilanjutkan dengan pembenahan warung apungnya. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H