Pelatihan tentang Peace Buliding hari kedua dimulai dengan membuat diorama. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Tugasnya adalah membuat wilayah perdamaian atau peace zone di sekolah, di tempat kerja dan di komunitas.
Ada yang menarik pada hasil kerja kelompok yang mendapat tugas membuat diorama di masyarakat. Mereka mengangkat kasus zona perdamaian yang benar-benar terjadi di Filipina Selatan. Zona perdamaian adalah sebuah tempat aman yang dibuat atas inisiatif masyarakat. Mereka sudah lelah dengan pertikaian, sehingga membuat batas-batas teritori yang memisahkan mereka dengan pihak yang bertikai. Jika pihak yang berkonflik ingin masuk ke wilayah tersebut, maka mereka harus menanggalkan senjata di luar wilayah dan menghormati peraturan di dalam komunitas. Yang pertama adalah zona perdamaian di Maladeg.Wilayah ini menjadi ajang pertempuran antara laskar MILF yang muslim dengan tentara Filipina. Warga Islam dan Kristen yang sudah capek dengan konflik berdarah itu akhirnya memutuskan membuat sebuah zona perdamaian. Mereka mengelola tempat ini secara swadaya. Tidak ada bantuan pemerintah karena hal itu dapat membuat pemberontak MILF menganggap mereka sebagai bagian dari pemerintah. Meski pun ada dua kelompok agama dalam satu wilayah, namun mereka tidak bertikai. Jika ada dendam atau pertikaian di antara warga, maka mereka harus menyelesaikannya di luar. “Kalau kalau ingin saling membunuh, silakan selesaikan di luar wilayah perdamaian. Kalau sudah selesai, barulah kalian boleh masuk. Tapi jangan saling membunuh di dalam wilayah ini.” Begitulah kira-kira bunyi peraturannya. Warga biasanya mematuhinya karena mereka tahu bahwa jika berada di luar zona ini, maka tidak ada jaminan atas keselamatan mereka. Wilayah ini berada di dalam propinsi Lanao del Sur di Mindanao. Propinsi otonomi khusus untuk muslim ini dipimpin oleh Sultan Gumander sebagai gubernurnya. Wilayah perdamaian lainnya adalah Tulunan, yang menjadi ajang pertikaian antara tentara Filipina dengan milisi NPA yang beraliran komunis. Ceritanya cukup dramatis. Warga yang sudah muak dengan peperangan memutuskan untuk bedol desa, dan berjalan-jalan berhari-hari untuk mencari tempat yang baru. Saya jadi teringat kisah Musa yang memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Di tempat baru, mereka harus babat alas dulu. Sama seperti Pandawa ketika akan mendirikan negara Amarta. Mereka mengambil kayu di hutan untuk membuat rumah. Setelah membangun fasilitas pendukung secara swadaya. Mereka mendapat dukungan dari gereja, namun pelaku utama dari pembuatan zona ini adalah masyarakat itu sendiri. Mereka juga membuat peraturan yang hampir sama dengan di Maladeg. Mereka berlaku imparsial. Tidak memihak kepada pihak yang bertikai. Tentara pemerintah atau pemberontak yang ingin masuk ke wilayah itu harus melucuti senjata dan menghormati peraturan di komunitas itu. Wilayah perdamaian ini mengingatkan saya tentang konflik di Ambon, Mollucas. Saat itu Islam dan Kristen saling membunuh selama bertahun-tahun. Lalu tanpa sengaja mereka menciptakan zone perdamaian yaitu di pasar. Di tempat ini dua pihak yang bertikai dapat saling bertemu dengan damai. Mereka dapat berinteraksi tanpa rasa takut.
*** Kekerasan itu bukan hal yang baru dalam sejarah umat manusia. Bahkan sejak manusia pertama, Adam melakukan kekerasan terhadap Hawa. Dia melakukan kekerasan psikis dan verbal dengan melemparkan kesalahan pada Hawa. Setelah itu, anak mereka yang bernama Kain, melakukan kekerasan fisik kepada saudara kandungnya. Akan tetapi belakangan ini kekerasan meningkat dengan pesat. Karena itu perlu ada penanganan. Salah satu caranya adalah dengan mengenali fase konflik. Konflik tidak muncul secara mendadak, namun melalui sebuah tahap-tahapan. Jika tahapan ini dikenali sejak awal, maka konflik relatif dapat ditangani dengan mudah. Namun jika dibiarkan membengkak hingga meledak, maka dampaknya akan mengagetkan dan sulit untuk dicarikan penyelesaiannya. “Kriwikan dadi grojogan.” Itulah istilah dalam bahasa Jawa. Artinya, kebocoran kecil di dapat membedah bendungan jika dibiarkan saja. Fase awal terjadinya konflik dimulai dari munculnya ketidaknyamanan secara fisik maupun psikis. Fase berikutnya adalah munculnya insiden atau kejadian yang mematangkan kegelisahan menjadi kesalahpahaman. Ketegangan semakin meningkat sehingga memuncak menjadi krisis. Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kekerasan? Kita dapat mendukung untuk setiap upaya perdamaian dengan gerakan aktif tanpa kekerasan. Kita juga turut mempromosikan perlunya pendidikan perdamaian. Selain itu juga mendidik masyarakat agar punya kecerdasan dan bersikap kritis terhadap media. Lalu melakukan kampanye terhadap pelarangan mainan anak-anak yang memicu agresivitas seperti pistol-pistolan, pisau, panah dan video game yang menampilkan kekerasan. Kita juga dapat mendesak pemerintah agar mengurangi anggaran militer. ***
Aktivitas berikutnya adalah membuat lagu. Lagi-lagi kami bekerja di dalam kelompok. Mula-mula kami mendiskusikan topik tentang petani miskin, nelayan miskin dan masyarakat miskin di perkotaan. Mula-mula kami harus menggambarkan realitas, setelah itu merumuskan sebab dan akibat dari realitas itu, lalu mengajukan gagasan untuk solusinya. Semuanya harus ditulis dalam syair lagu 3 bait. Bait pertama tentang realitas tentang kemiskinan. Bait kedua tentang sebab dan akibat dan bait ketiga tentang solusinya. Aktivitas ini berlangsung seru karena partisipan mengeluarkan talentanya. Ada yang
ngerap, ada yang bergoyang, ada pula yang menyanyi. Aktivitas ini menjadi pengantar tentang analisis struktural tentang developmentalisme. Secara konsep, tujuan dari pembangunan adalah untuk kesejahteraan semua warganegara. Setiap orang memiliki baju, papan dan pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga memiliki pelayanan sosial seperti kesehatan, sosial, dan keamanan. Demokrasi dilaksanakan, lalu kebudayaan bertumbuh dan lingkungan hidup dilestarikan dan dilindungi. Itu semua adalah mimpi dari paham development yang diadopsi oleh hampir semua negara di dunia. Akan tetapi globalisasi telah menghancurkan harapan ini. Yang terjadi justru kesenjangan yang begitu mencolok. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin semakin miskin. Globalisasi adalah proses integrasi ekonomi negara-negara di dunia dengan mengurangi hambatan-hambatan yang dapat mengganggu aliran barang, jasa, investasi dan uang antar negara. Itu sebabnya sekarang ini kita bisa melihat arus barang yang cepat. Barang dari Cina membanjiri pasar Indonesia. Aliran perpindahan manusia juga mengalir dengan bebas. Sebagai contoh, untuk bepergian antar negara Asean kita tidak membutuhkan proses berbelit. Asalkan memegang paspor, maka urusan di imigrasi dapat diselesaikan kurang dari 5 menit. Itu adalah untuk mempermudah pergerakan manusia. Akan tetapi geliat globalisasi ini menciptakan berbagai masalah di dunia. Akibat perkembangan teknlologi dan mekanisasi, maka angka pengangguran semakin meningkat. Lingkungan mengalami kerusakan yang luarbiasa. Masyarakat tercerabut dari akat budayanya. Partisipasi masyarakat diabaikan. Masyarakat mulai kehilangan kreativitas, pengharapan, dan moralitas. Semakin banyak orang yang putus asa dan mengalami depresi. Lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidakadilan ini? Tunjukkanlah solidaritas, jangan memberi belas kasihan. Memberi sedekah itu tidak banyak manfaat memberi manfaat. Tapi mendukung perjuangan mereka untuk lepas dari ketertindasan itu akan lebih baik. *** Hari kedua ini, diakhiri dengan presentasi dari negara Laos, Myanmar, Kamboja dan Thailand. Mereka menyajikan data-data demografis tentang masing-masing negara, lalu mengajak partisipan untuk menari bersama dengan iringan musik dari negara mereka.
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya