Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bocah Ini Anaknya Rhoma Irama

28 Desember 2010   12:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau saya menyebut nama "Adam Ghifari", mungkin banyak orang tidak memberikan perhatian khusus. Tapi jika saya menambahkan nama bapaknya menjadi "Adam Ghifari, anak dari Rhoma Irama," maka mungkin banyak orang akan memberi perhatian. Ya, Adam Ghifari  adalah anak dari seniman musik yang dijuluki "raja dangdut" itu. Adam adalah anak Rhoma dengan Gita Andini Saputri, seorang perempuan asal Solo keturunan Pakistan. Sebagaimana bapaknya yang seniman, rupanya darah seni juga mengalir di urat nadi bocah kelahiran, Surakarta 13 September 1999. Jika bapaknya menekuni kesenian modern, maka anaknya menaruh minat di bidang kesenian tradisional, yaitu pedalangan. Sejumlah prestasi berhasil diraih dalam dunia seni pedalangan, termasuk sukses sebagai juara satu, dalam festival dalang bocah di Dinas Pendidikan Nasional pada 2007. Hari Minggu, 26 Desember, saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan kebolehan Adam di Rumah Turi, Solo. Dengan diiringi oleh musik dari bambu, Adam menggelar pertunjukan wayang beber dengan lakon "Pasar Ilang Kumandange." Berbeda dengan pertunjukan wayang tradisional, pertunjukan wayang beber sebenarnya tidak menggunakan boneka sebagai media pertunjukan. Sebagaimana namanya, wayang beber menggunakan lukisan yang dibeberkan atau dibentangkan di hadapan penonton. Aslinya, beberan ini menggunakan lembaran kulit binatang yang dilukisi dengan berbagai ilustrasi. Untuk memainkannya, sang dalang hanya mendeskripsikan gambar-gambar yang ada di depannya sehingga membentuk jalinan cerita. Untuk memusatkan perhatian penonton, maka sang dalang menggunakan tongkat dari bambu panjang yang sudah diraut untuk menunjuk bagian tertentu dalam lukisan tesebut.  Usia wayang beber ini sudah sangat tua. Konon berasal dari zaman Majapahit. Salah satu gulungan wayang beber paling kuno masih disimpan di desa Gelaran, Gunungkidul. Dekat sekali dengan desa saya.

Akan tetapi dalam pertunjukkan ini, Adam telah melakukan modifikasi. Dia tidak menggunakan suluk. Untuk menarik perhatian penonton, Adam menggunakan berbagai medium pertunjukkan seperti wayang golek, wayang kulit, bahkan tepas (kipas bambu) yang dilukisi wajah tokoh wayang. Namun untuk media utama, masih menggunakan lembaran lukisan yang digulung. Namun lukisannya tidak berasal dari kisah Mahabarata atau Ramayanan, tetapi mengangkat kehidupan sehari-hari, yaitu kehidupan pasar tardisional yang berisik, bising, bau, kotor, dan becek. Pertunjukan dibuka dengan protes seorang pembeli karena keracunan makan mie instan. Menggunakan wayang golek yang bisa mengeliarkan asap dan mie instan dari mulutnya, Adam berhasil menarik minat penonton untuk mengikuti kisah selanjutnya. Dengan bahasa yang komunikatif dan diselingi guyonan segar, Adam mengisahkan suasana kehidupan tradisional yang masih guyup dan bernuansa hubungan pribadi.
Wayang Beber
Wayang Beber
Akan tetapi situasi ini tidak berlangsung lama. Dengan alasan "renovasi", buldozer kapitalisme menggusur pasar tradisional ini dan menggantikannya dengan bangunan baru yang lebih bersih, teratur, wangi dan bersih. Akan tetapi pola hubungan antara penjual dan pembeli sudah berubah. Tidak ada lagi hubungan personal. Pembeli tidak bisa menawar, apalagi ngutang. Penjual juga tidak bisa curhat kepada pembeli seperti yang biasa terjadi dalam pasar tradisional. Hubungan antara penjual dan pembeli hanya dilandasi transaksi ekonomi. Sementara pedagang lama yang tidak mampu membayar uang sewa kios tergusur menjadi pengasong di pinggiran pasar modern. Pemuda-pemuda pengangguran mulai terjerat oleh kecanduan alkohol. Warga yang terpinggirkan mulai mudah marah. Muncul keresahan. Sampai di sini, Adam berhasil mengangkat isu-isu aktual. Namun sesungguhnya yang memilih lakon ini bukan Adam. Adalah seorang seniman bernama Dani Iswardana yang jeli menangkap femona ini, kemudian mengangkatnya ke atas lembaran wayang beber sepanjang 3 meter.
Wayang Beber
Wayang Beber
Lalu bagaimana sang dalang akan mengakhiri cerita ini? Pertanyaan ini cukup menggelitik mengingat yang akar dari pesoalan ini adalah gurita kapitalisme yang telah membelit dan menusuk hampir di semua sektor. Perjanjian pasar bebas yang diikuti Indonesia, tanpa disertai penguatan pasar dan industri domestik, telah menempatkan Indonesia ke dalam posis yang sangat rentan. Utang luar negeri yang menumpuk membuat pemerintah pusat tak mampu membiayai pembangunan di daerah-daerah. Maka dibuatlah kebijaksanaan "desentralisasi" yang dibungkus dengan atribut demokratisasi, padahal sesungguhnya tidak lebih dari upaya melempar tanggungjawab. "Silakan urus daerahmu sendiri. Pemerintah pusat tak punya cukup uang untuk memelihara kalian," itulah pesan tersirat dari Desentralisasi. Karena harus mencari dana sendiri untuk memenuhi kebutuhan APBD, maka para penguasa daerah cenderung mengambil jalan pintas. Mereka melakukan privatisasi terhadap aset-aset negara, termasuk di dalamnya juga pelayanan publik yang semestinya bersifat non profit. Mereka menggadaikan kekayaan negara kepada swasta demi meraih fulus dengan mudah. Maka segala hal yang bisa "dikerjasamakan" dengan pihak swasta pun ditempuh. Urusan parkir diserahkan ke pihak swasta. Pihak dipenda hanya mau tahu terima setoran bersih sekian rupiah ke pundi-pundi mereka. Pasokan air minum juga diswastanisasi. Pasar pun tak luput dari gerusan pemodal ini. Menjelang akhir pertunjukkan, Adam mengisahkan ada huru-hara, yang mengingatkan penonton pada kerusuhan pada Mei 1998 di Solo. Sebagai penutup, Adam menekankan perlunya peningkatan keimanan dalam beragama sebagai solusi dari persoalan ini. Solusi ini nampaknya belum menjawab persoalan yang sebenarnya. Pasar tradisional yang sudah kehilangan gaungnya itu adalah korban dari ketidakadilan struktural. Maka kesalehan yang bersifat pribadi belum bisa mengatasi masalah itu. Kesalehan yang dicapai seseorang hendaknya terwujud dalam tindakan nyata untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi ketidakadilan itu. Lembaga-lembaga agama dipanggil sebagai nabi untuk menyerukan ketidakdilan yang nampak di depan mata. Sayangnya, banyak lembaga agama yang justru mendapat kenikmatan dan memetik keuntungan dari arus global yang timpang ini. Termasuk di dalamnya, lembaga agama yang saya ikuti. Lalu bagaimana dong? Entahlah, saya masih menggumulkan soal ini. Update: Berikut cuplikan video aksi Adam:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun