Sungguh kaget waktu mendengar kabar, pagi ini, Kamis 16 September, bang Mula Harahap mendapat serangan jantung dan dipanggil Tuhan. Di kalangan dunia perbukuan, Mula Harahap adalah sosok yang disegani. Dia dianggap berhasil mengelola Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), sehingga kongres IKAPI mendaulatnya untuk menjabat sebagai ketua. Tapi pria Batak ini menolak. Meski begitu, dia tetap aktif di Yayasan Adikarya sebuah yayasan di bawah naungan IKAPI yang memberikan award untuk buku-buku terbaik setiap tahun. Di kalangan kekristenan, karya bang Mula Harahap dapat dinikmati dalam bentuk cerita anak dan hasil penyuntingan buku-buku yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Peran editor memang kadang dilupakan oleh penikmat buku. Padahal, tanpa kerja keras editor, maka para pembaca harus sering menelan obat pening setelah membaca buku. Sebagai orang yang pernah bekerja di penerbitan buku dan majalah, saya tahu benar kualitas naskah-naskah buku yang diterima penerbit.Jika penerbit mendapat kiriman naskah yang bagus dan nyaris siap untuk diterbitkan itu adalah sebuah keberuntungan. Itu sebabnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Panitia Festival dan Penulis Kristen, bang Mula berucap: "Karir terbesar editor adalah jika mampu menumbuhkan seorang yang bukan apa-apa menjadi seorang penulis" Kepada para penulis pemula, bang Mula berpesan untuk tidak takut-takut menulis. "Para penulis tidak perlu pusing-pusing memikirkan gaya bahasa, ejaan, tata bahasa dll. Itu semua adalah pekerjaan editor. Yang penting adalah isinya bermutu," katanya. "Kalau mau menulis, mulailah secara otentik. Tulislah dengan jujur dan apa adanya," lanjutnya sambil menimang-nimang bungkus rokok Djarum Super. Di acara diskusi inilah untuk pertama kali dan terakhir kali saya berjumpa secara fisik dengan bang Mula. Meski rambut dan jenggot sudah memutih, tapi dia masih punya enerji meladak-ledak. Cara berbicaranya dengan intonasi yang menggelegar, sebagaimana biasa pria Batak. Sebagai pengurus YAKOMA (Yayasan Komunikasi Massa) PGI, bang Mula memiliki kerinduan untuk menghidupkan kembali Yakoma. Dua puluh tahun yang lalu, nama Yakoma begitu moncer. Jika Anda melihat acara Mimbar Agama Kristen di Televisi, akan terpampang nama Sanggar Yakoma di sub title acara. Pada masanya, kantor di kawasan Cempaka Putih ini menjadi tempat mangkal seniman-seniman yang cukup punya nama, seperti Teguh Karya, Enteng Tanamal, Julius R Sjiranamual, Franky Rorimpande dan banyak lagi lainnya. Sekarang, kantor Yakoma tak ubahnya pasar yang ilang kumandange (pasar yang sepi). Ruang-ruang produksi audio telah disulap menjadi kamar-kamar penginapan. Alat-alat rekaman yang sangat mahal itu ada yang dijual, ada pula yang mangkrak. Dibiarkan teronggok di ruangan lantai dua. Salah satu staf Yakoma menuturkan bahwa kepudaran Yakoma dimulai menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Pimpinan Yakoma saat itu sedang kesengsem dengan gerakan akar rumput. Dia getol mengorganisasi masyarakat marjinal dan buruh di berbagai kota untuk mengadakan perlawanan. Akibatnya, beberapa aktivitas di Yakoma mengalami kemandegan. Kapling acara di TVRI dan RCTI diminta kembali oleh Menteri Agama. Lama-kelamaan pamor Yakoma menyurut. Dua tahun terakhir ini, muncul kesadaran baru untuk merevitalisasi Yakoma. Adalah bang Mula dan Voctor Silaen yang memiliki semangat untuk membangunkan kambali macan tidur ini. Bang Mula pun memasang wi fi di Yakoma dengan harapan dapat menarik minat orang untuk kongkow di sana. Maka ketika dia bertemu dengan Panitia Festival Penulis dan Pembaca Kristen, bang Mula menyambut dengan antusias. "Pakai saja fasilitas yang ada di Yakoma ini," katanya dengan bersemangat.
Maka ketika kami mengajukan gagasan mengadakan diskusi, maka dia langsung menawarkan aula Yakoma sebagai tempat diskusi. Tidak hanya itu, bang Mula juga menyediakan makan malam untuk peserta yang datang. Di akhir diksusi, bang Mula berbisik pada Ita Siregar, "para pembicara itu mendapat uang transport?" Ita Siregar menggeleng. Maka bang Mula pun segera mengambil tindakan.
****
Setiap membaca status yang ditulis oleh bang Mula di FB, saya sering tersenyum kecut. Dia memiliki sense humor yang elegan. Meski berasal dari suku Batak, tapi ternyata juga menggunakan metode orang Jawa. Dia menyindir keadaan terkini dengan ungkapan yang halus, kadang bercanda. Album foto terakhir yang diunggahnya adalah tentang topeng monyet, yang menurutnya tak jauh berbeda dengan anggota DPR. Tingkah anggota DPR itu lucu, konyol dan kadang menghibur. Siapa menyangka bang Mula berpulang begitu cepat? Dalam blog-nya, bang Mula sudah mewasiatkan jika mati, dia dikremasi saja. Dia menulis:
"Beberapa waktu yang lalu saya mendampingi seorang teman untuk menziarahi makam kekasihnya yang telah meninggal beberapa tahun lalu. “Ini hari ulang tahunnya. Tak enak kalau saya tak berziarah,” kata teman saya. Tapi perjalanan berziarah ke sebuah makam di Jakarta ternyata bukanlah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Dari mulai pinggir jalan hingga ke makam kita berhadapan dengan aneka tukang palak.Dan belum lagi, kalau musim penghujan, makam penuh dengan lumpur dan nyaris tak bisa dilalui. Saya pikir, kalau nanti saya mati, saya tak mau membuat orang merasa terbeban dan repot. Saya mau dikremasi saja dan—whush—abu jenazah saya silakan dibuang. Kalau para kekasih hati saya ingin menziarahi makam saya maka mereka tak perlu berurusan dengan para tukang palak dan lumpur yang tebal. Dari meja tulisnya masing-masing, dimana pun mereka berada, mereka cukup melakukan ziarah dengan sekali klik dan tiba di makam saya, yaitu blog ini."
Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, Mula Harahap mati meninggalkan tulisan abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H