Keributan yang melibatkan aktivis Ratna Sarumpaet dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan terekam kamera dan viral di YouTube. Cekcok mulut itu terjadi di Posko Tim Pencarian KM Sinar Bangun, Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun. Ratna tidak terima dengan penghentian pencarian korban KM Sinar Bangun yang diumumkan Luhut hari ini. Ratna ingin pencarian terus berlanjut.
Saya nggak heran kalau Ratna Sarumpaet berani menyuarakan aspirasi keluarga korban. Meski itu akan membuatnya dicerca. Dia bukan semacam social warrior tiban yang mendadak menjadi terkenal berkat media sosial. Sejak zaman rezim Soeharto yang represif, Ratna berani membela orang-orang pinggiran.
Dia pernah menyuarakan protesnya atas pembunuhan terhadap seorang aktivis buruh bernama Marsinah yang patut diduga saat itu melibatkan militer dan pemilik modal. Risikonya bukan sekadar di-bully atau dibuat meme pada zaman sekarang. Pada zaman itu, bisa-bisa tanpa sebab apa-apa, dia bisa di-sukabumi-kan. Kalau sekarang dia ikut nimbrung soal tenggelamnya kapal di Danau Toba, pandanglah dari penguatan sisi korban dan keluarganya. Saya melihat belum banyak aktivis LSM yang mendampingi dan menguatkan mereka.
Berkat protes keras Ratna itulah, maka tim SAR punya kesempatan untuk menjelaskan bahwa reruntuhan kapal itu berada di kedalaman 450 meter. Penyelam mustahil mencapai ke sana dengan hanya mengandalkan peralatan selam seadanya. Operasi pengangkatan bangkai kapal juga akan memakan biaya yang sangat besar.
Aksi Ratna yang dramatis dan teatrikal ini --karena dia memang seniman teater seharusnya justru menyadarkan kita bahwa pihak korban belum mendapatkan dukungan yang memadai. Apakah para social warrior zaman now telah turun untuk mendampingi keluarga korban? Barangkali saja para keluarga itu sebenarnya punya pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Namun mereka tidak berani mengutarakannya karena merasa tidak mampu beradu argumentasi dengan pemerintah. Sikap diam mereka bisa saja dianggap pemerintah sebagai sikap setuju pada semua kebijakan pemerintah. Namun tidak selamanya begitu. Sikap diam juga dapat terjadi karena warga merasa nirdaya.
Note:
Tulisan saya ini tidak berpretensi untuk menyinggung soal dialektika antara "kecebong" vs "kampret". Mohon komentar tidak diarahkan ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H