[caption id="attachment_293573" align="aligncenter" width="630" caption="Nasi bungkus dan lauknya | Foto-foto: Purnawan K"][/caption] Headline di kompas.com  menampilkan berita pengungsi banjir di Jakarta yang membuang pemberian nasi bungkus karena tidak sesuai dengan selera mereka. Saat menerima nasi bungkus atau nasi kotak, para pengungsi hanya makan sedikit lalu sisanya dibuang begitu saja. Berita itu juga menyebutkan bahwa para pengungsi juga menolak bantuan pakaian bekas. Setelah membaca berita muncul kesan bahwa para pengungsi itu tidak tahu berterimakasih. Benarkah? Kisah ini mengingatkan saya pada erupsi Merapi tahun 2010. Saat itu, kota Klaten dibanjiri oleh ribuan pengungsi secara pengungsi. Pemerintah dan masyarakat segera membuka tempat-tempat penampungan pengungsian dan membuat dapur umum untuk menyuplai makanan bagi mereka. Setelah dua minggu berlalu, muncul kebosanan di antara pengungsi. Banyak nasi bungkus sisa yang terbuang sia-sia karena menumpuk. Di salah satu barak pengungsian bahkan terjadi insiden pemukulan. Ceritanya ada seorang pengungsi yang alih-alih menyantap nasi bungkus, dia malah mennggunakan sebutir telur rebus sebagai alat mainan. Seorang tentara menegur perilaku itu. Maka terjadilah percekcokan. Selain itu, pengungsi juga mulai mengalami susah buang air besar karena kekurangan asupan serat. Lauk dalam nasi bungkus biasanya berupa makanan-makanan kering seperti telur, tempe, ayam, mie goreng, abon, dan ikan asin.  Menu nasi bungkus kekurangan unsur sayur. Hampir semua nasi bungkus mengabaikan menu sayur karena alasan kepraktisan. Untuk membungkus sayur dibutuhkan waktu yang lebih lama karena harus memasukkan ke dalam plastik, padahal jumlah relawan terbatas dan waktu untuk membungkus juga mendesak. Sedangkan unsur buah juga tidak ditambahkan karena dianggap sebagai kemewahan. Padahal unsur serat ini dibutuhkan pencernaan untuk urusan ke belakang. Kalau begitu apakah nasi bungkus tidak dibutuhkan? Tentu saja masih dibutuhkan. Akan tetapi nasi bungkus semestinya hanya diberikan pada saat-saat darurat. Saat terjadi erupsi besar, para pengungsi kabur tanpa membawa peralatan masak dan bahan makanan. Tentu dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat dapur dan memasak. Di sinilah peran nasi bungkus di dalam menolong para penyintas. Juga dalam bencana banjir, banyak keluarga yang tidak dapat memasak karena peralatan masak dan bahan baku terendam air. Maka nasi bungkus menjadi 'dewa penolong.' Saat terjadi erupsi tahun 2010, nasi bungkus bahkan menjadi ikon solidaritas di dalam masyarakat. Tanpa dikomando, masyarakat berinisiatif membuat nasi bungkus untuk disalurkan kepada para penyintas. Akan tetapi jika kondisinya sudah mulai mapan, maka sesegera mungkin agar para penyintas ini dapat memasak sesuai dengan kebiasaan di tempat asal mereka. Kadangkala sebagai relawan, kita menggunakan kerangka berpikir dan pengalaman sebagai acuan dalam menolong para penyintas. Kita berpikir sudah memberikan yang terbaik kepada relawan. Tapi itu menurut anggapan kita. Bagi penyintas, barangkali bantuan kita itu tidak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan mereka. Misalnya, dalam memilih lauk, relawan sudah memilihkan yang paling enak yang sesuai dengan anggaran yang tersedia. Akan tetapi selera relawan belum tentu berbeda dengan selera pengungsi. Saya lalu teringat dengan seorang Guru yang diberi karunia menyembuhkan orang sakit. Suatu hari Guru itu melihat seorang yang lumpuh. Dia menghampiri orang lumpuh itu dan bertanya, "Maukah engkau sembuh?" Bagi orang luar, barangkali ini pertanyaan konyol. Orang lumpuh mana yang tidak ingin berjalan? Meski demikian, sang Guru tetap bertanya kepada orang ini karena tidak mau memaksakan bantuan kepada orang lumpuh ini. Kadangkala orang-orang dermawan memiliki sikap sok tahu. Mereka menganggap bahwa para penyintas itu tak berdaya sehingga pasti menerima setiap bantuan yang diberikan. Mereka merasa paling tahu terhadap kebutuhan para penyintas bencana. Akibatnya, banyak bantuan yang menjadi sia-sia karena tidak dibutuhkan atau karena sudah terlalu banyak. Sebagai contoh, ada banyak orang yang memberikan bantuan pembalut. Mereka berpikir, 'Orang lain pasti tidak terpikirkan untuk memberikan bantuan ini.' Padahal jika dipikir, perempuan hanya mengalami menstruasi sebulan sekali. Kebutuhan akan pembalut memang ada, tetapi tidak terlalu banyak. Akibatnya, gudang perbekalan dipenuhi dengan persediaan pembalut yang tak tersalurkan. [caption id="attachment_293583" align="aligncenter" width="630" caption="Pengungsi memasak sendiri"]
Kembali ke soal nasi bungkus. Setelah berdiskusi dengan pengungsi, maka kami memutuskan untuk memberikan peran kepada para pengungsi untuk memasak makanan mereka sendiri. Kami membentuk para pengungsi ke dalam beberapa kelompok. Setelah itu memberikan bantuan peralatan memasak dan bahan bakunya. Mereka sendiri yang menentukan menu sesuai dengan kebiasaan mereka dan juga tidak melebihi anggaran yang tersedia. Kepada setiap pengungsi, kami memberikan piring, sendok, dan gelas. Mereka bertanggungjawab atas peralatan makan pribadi.
Dengan perubahan ini, pengungsi kembali bergairah untuk menuju meja makan pada jam makan siang. Cara ini lebih meringankan pengelola pengungsian karena tidak perlu mengerahkan relawan untuk memasak. [caption id="attachment_293577" align="aligncenter" width="542" caption="Para pengungsi ambil makan siang dengan antusias"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H