Surat edaran walikota Lhokseumawe Suadi Yahya memicu kehebohan di dunia maya. Surat edaran itu  menghimbau kaum perempuan tidak duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor. Alasannya untuk memudahkan mengenali pembonceng antara laki-laki dan perempuan. Pelarangan semacam ini bukan hal yang baru. Ada banyak bentuk pembatasan lainnya terhadap perempuan yang berbasis pada perbedaan seksual. Misalnya, perempuan dilarang mengenakan celana jeans karena menampakkan lekuk-lekuk tubuh. Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah Aceh juga menghapus kegiatan senam karena peserta menggunakan baju olahraga yang menonjolkan tubuh perempuan. Sementara itu di wilayah Jawa Barat akan ada perda jam malam bagi perempuan. Alasan yang dikemukakan kelihatan mulia: "Untuk mencegah pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan." Fenomena ini mencerminkan bahwa budaya patriarkhi masih kental pada masyarakat kita. Dalam budaya patriarkhi, kaum laki-laki menempati posisi yang lebih superior daripada kaum perempuan dan anak-anak.  Dalam pandangan ini, perempuan hampir sama dengan properti lain yang dimiliki oleh laki-laki. Itu sebabnya, laki-laki berkuasa untuk mengatur sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa perlu mendengar aspirasi perempuan. Dakam budaya Patriarkhi pula, diadakan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Menguasai wilayah publik, sementara perempuan dikungkung di wilayah domestik, yaitu dapur (memasak), sumur (mencuci) dan kasur (melayani kebutuhan seksual). Itu sebabnya, masyarakat patriarkis menganggap tidak lazim jika ada perempuan yang berada di ruang publik. Mereka akan berusaha keras mengontrol perilaku perempuan di wilayah publik, seperti yang tercermin pada berbagai pembatasan yang sudah disebutkan sebelumnya. Saya setuju dengan niat baik untuk melindungi perempuan, akan tetapi apakah harus dilakukan dengan mengekang kebebasan perempuan? Apakah pakaian yang seksi menjadi pangkal sebab dari kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual? Pada kenyataannya, ada banyak kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual itu justru dialami oleh perempuan yang berpakaian 'biasa saja.' Sebuah poster yang dibawa oleh pendemo di India menarik untuk diperhatikan. [caption id="attachment_218176" align="aligncenter" width="465" caption="Sumber foto: Republika"][/caption] Dalam poster itu tertulis: "Jangan larang anak perempuanmu keluar rumah. Ajarlah anak laki-lakimu agar berperilaku beradab."  Mengapa pihak perempuan sebagai korban yang harus selalu disalahkan dan dikekang? Mengapa pelakunya tidak disentuh? Di sinilah pentingnya untuk mengikis budaya patriarki. Jika dalam masyarakat mulai mengakui adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka niscaya penistaan seksual akan berkurang. Kaum laki-laki itu bukan binatang yang tidak dapat mengekang hasrat seksualnya. Jika dalam masyarakat sudah ada nilai-nilai yang menghargai martabat perempuan, maka sekalipun ada perempuan berpakaian seksi lewat di depannya, maka seorang laki-laki  tidak akan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap perempuan itu. Sumber foto: http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/sejumlah-wanita-india-melakukan-demonstrasi-mengecam-aksi-pemerkosaan-masala-_130103071626-350.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H