Desa-desa di Gunungkidul memiliki tradisi rasulan atau bersih desa, yaitu ritual syukur atas hasil panen. Akan tetapi rasulan di desa Wiladeg memiliki keunikan. Acara tahunan ini menjadi ajang Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) kinerja kepala desa kepada masyarakatnya. Tradisi ini sudah berlangsung selama turun-temurun. Ini adalah salah satu warisan kearifan lokal. Rasulan desa Wiladeg selalu jatuh pada hari Jum'at Kliwon di bulan Ruwah pada penanggalan Jawa, atau dalam kalender Gregorian biasanya pada bulan Juli dan Agustus. Tidak jelas sejak kapan tradisi rasulan ini bermula, namun ada dokumen sejarah yang menuliskan bahwa ada salah satu pejabat Belanda menghadiri tradisi rasulan pada tahun 1934. Tahun ini, perayaan jatuh pada tanggal 24 Agustus 2012. Sejak pagi, ribuan orang sudah berduyun-duyun ke balai desa Wiladeg atau sekitar 45 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Mereka akan menonton tampilan reog dari 10 pedukuhan yang ada di desa Wiladeg. Ketika warga sudah berukumpul di balai desa, maka Kepala Desa Wiladeg akan menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat dengan cara melaporkan pelaksanaan program pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan setelah sebelumnya dilaporkan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD). Di dalam peraturan pemerintah memang tidak ada kewajiban bagi kepala desa untuk membacakan LPJ secara langsung. Kepala desa cukup menyampaikan laporan tertulis kepada BPD sebagai representasi dari wakil rakyat. Akan tetapi jauh sebelum zaman reformasi, desa Wiladeg ini sudah menganut asas transpransi dan prinsip good corporate governance. Di dalam forum ini, warga desa boleh menyampaikan saran, usulan dan kritik kepada kepala desa.
***
Dalam tradisi rasulan ini setiap dukuh membuat dua ancak. Pertama ancak wadon yaitu gunungan yang terbuat dari dari bunga-bunga kertas. Juga ditempel dengan hasil bumi seperti padi, wortel, sayuran kacang panjang, terong, pare ulo, cabe, buah jeruk, kerupuk gendar, apel dan sebagainya. Â Ancak wadon ini akan menjadi rebutan warga usai didoakan oleh pemimpin agama.
Ancak Wadon
Kedua, ancak lanang yang bentuknya bebas. Biasanya menggambarkan ciri khas dari dukuh tersebut.Pada zaman Orde Baru, ancak lanang ini menjadi ajang propaganda yang menampilkan keberhasilan pembangunan. Misalnya, menampilkan replika irigasi, traktor, peralatan militer dan sebagainya. Akan tetapi sekarang mulai terlihat perubahan. Tahun ini ada padukuhan yang membuat patung pemuda punk. Rambut bergaya mohawk, bertato dan mengenakan celana setengah melorot. Ini adalah hal yang mustahil dibuat pada zaman Orba mengingat komunitas punk mengusung ideologi pemberontakan pada nilai-nilai kemapanan.
Punk
Perubahan atau lebih tepatnya inovasi juga terlihat pada reog. Pada zaman dulu, alat musik reog menggunakan tiga buah bonang, kecrek, angklung dan kendang. Musik dipukul secara monoton. Â Namun sekarang, beberapa kelompok reog menambahkan drum dan simbal.
Alat musik ini mengiringi gerakan para lelaki sebagai prajurit tombak dan penunggang kuda kepang bersenjata pedang. Mereka bergerak ritmis dan cenderung monoton. Itu zaman dulu. Sekarang, penari perempuan dilibatkan dengan memasukkan unsur koreografi tarian sehingga tampilanya lebih menarik.
Setiap kelompok reog diberi waktu selama 20 menit untuk 'beber' atau unjuk kebolehan di atas panggung. Pada zaman dulu, gerakan penari melukiskan adegan prajurit bertombak yang sedang gladen atau berlatih berperang. Sebagai klimaknya, dua prajurit naik kuda kepang melakukan duel senjata dengan pedang. Masing-masing prajurit memiliki botoh atau promotor. Yaitu dua orang yang mengenakan topeng. Yang satu bernama penthul (berwajah putih) dan beles (bermuka hitam). Pada zaman dulu, kedua tokoh ini memiliki kekuatan magis karena biasanya diperankan oleh orang yang sudah sepuh. Â Jika ada anak yang sakit-sakitan, maka orangtua dari anak ini akan mengusapkan selendang yang dipakai oleh penthul atau beles ke wajah sang anak. Mereka percaya bahwa kekuatan magis akan menyembuhkan sang anak.