Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemlinthi

2 Februari 2010   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_66794" align="alignleft" width="300" caption="photo by antz_kid"][/caption]

"Kemlinthi", istilah dalam bahasa Jawa ini belum bisa saya dapatkan padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Kata sifat ini biasa dilekatkan pada perilaku orang yang membuat jengkel orang banyak.

Dalam Wikipedia bahasa Jawa, kata kemlinthi didefiniskan sebagai berikut: "Kemlinthi, punika ngadahi arti ingih sikap utawi polah ingkang ndadosaken tiyang mboten remen. polah tikah ingkang kemlinthi punika wonten basa Inggris sami kalian arrogant, sombong basa Indonesia." (Kemlithi adalah perilaku yang membuat jengkel orang lain).

Untuk melukiskan sifat ini, saya menggambarkannya dalam sebuah cerita rekaan sebagai berikut:
Tersebutlah kisah seorang pemuda bernama Dhadhap yang pulang ke kampung halamannya. Dia baru saja belajar ilmu bela diri di sebuah perguruan silat. Sesampai di kampung, Dhadhap mulai memamerkan kelihaiannya dalam berkelahi. Dia petantang-petenteng dan merendahkan setiap orang. Jika ada orang yang menegurnya, maka ditantangnya untuk berkelahi.
Suasana kampung yang tadinya harmonis, tapi tetap dinamis itu, mendadak berubah menjadi gerah. Penduduk kampung merasa sebal dengan perilaku Dadap, tetapi tidak tega jika harus mengusirnya, karena bagaimana pun juga dia berhak untuk tinggal di kampung itu. Maka mereka pun meminta tolong seorang pendekar yang berilmu tinggi untuk menegurnya.
Sang pendekar bersedia memenuhi permintaan warga kampung. Mula-mula dia mengajak Dhadhap untuk bicara baik-baik, tapi Dhadhap justru memanfaatkan kesempatan itu untuk memamerkan ilmu yang sudah dia kuasai. Ditantangnya sang pendekar. Sang pendekar merasa tidak perlu meladeni tantangan itu. Dia pun pulang ke rumah.
Sepulangnya pendekar, si Dhadhap menyebar berita ke seluruh kampung bahwa sang pendekar takut melawan dirinya. Buktinya, sang pendekar tidak berani menanggapi tantangannya.
Berita tak sedap itu sampai juga ke telinga sang pendekar. Dia pun mendatangi si Dhadhap untuk menegurnya, tapi malah ditanggapi lagi dengan tantangan berkelahi. Sebenarnya sang pendekar enggan meladeni tantangan. Baginya, ilmu si Dhadhap belum ada apa-apa dibandingkan dengan dirinya. Meski begitu, dia meladeni tantangan itu sekadar untuk menyadarkannya. Hanya dalam tiga jurus, si Dhadhap dapat dilumpuhkan. Sang pendekar sengaja tidak menyakiti Djadhap karena dia sebenarnya masih merasa kasihan.
Si pendekar pun pulang dan berharap si Dhadhap insaf. Tapi apa yang dilakukan Dhadhap? Dia berkoar ke seluruh kampung, bahwa dia telah bertarung dengan pendekar. Dia mengklaim bahwa sang pendekar tidak sanggup meneruskan pertarungan dengannya. Dhadhap menuduh bahwa sang pendekar telah "tinggal glanggang colong playu" (kabur dari arena pertarungan).
Mendengar bualan si Dhadhap, darah sang pendekar tersirap. Dia ambil pedang yang sudah disimpannya selama puluhan tahun. Dia mengasah pedang itu dengan gigi yang gemeretuk. Urat-urat di tangannya tampak menonjol ketika memegang kuat-kuat pedangnya saat beradu dengan batu asah.
Lalu datanglah seorang begawan sepuh, sang bijak. Dia menyentuh tangan pendekar dengan lembut. "Sabar dulu, Angger!" kata sang begawan.
"Ini tidak bisa dibiarkan, Eyang!!" kata sang pendekar murka,"perilakunya sudah keterlaluan. Ini sudah melecehkan harga diriku"
"Lihatlah dulu apa yang kubawa," kata begawan sambil membuka bungkusan kainnya. Di dalamnya ada seekor katak kintel.
Sang begawan mengambil ranting kering dang mengangsurkannya pada pendekar. "Usirlah katak ini dengan memukulnya" perintah begawan. Pendekar menurut. Dia memukul badan katak itu. Tapi alih-alih melompat kabur, katak itu malah membesarkan badannya. Sang pendekar memukul sekali lagi. Badan katak itu tambah membesar. Pendekar mulai jengkel. Dipukulnya lagi, dan semakin besarlah badan katak itu.
"Sekarang biarkan saja katak itu. Tidak usah kamu apa-apakan," kata begawan bijak. Pendekar menurut. Tak berapa lama, badan katak itu mengempis dan melompat pergi.
Melihat hal itu, sang pendekar dapat menangkap yang apa dimaksud oleh begawan.
****
Motif dari sifat "kemlinthi" adalah untuk menarik perhatian orang banyak. Sayangnya, dia melakukannya secara negatif yaitu dengan membuat orang lain jengkel. Dia melakukan ini karena menyadari bahwa dirinya tidak mampu mencapai sebuah prestasi yang membuatnya mendapat perhatian orang banyak. Karena merasa tidak mampu berprestasi secara positif, maka dia membuat prestasi negatif yaitu membuat jengkel orang banyak. Semakin banyak orang menjadi jengkel akibat ulahnya, semakin bersemangat dia untuk melakukannya lagi. Inilah yang dikehendakinya.
Orang seperti ini seakan tidak ada matinya, kata orang Betawi. Meski sudah dijitaki ramai-ramai orang sekampung, tapi dia masih saja bisa bangkit dan menunjukkan bahwa hal itu tidak akan membuatnya jera. Sama seperti katak kintel, tindakan keras pada orang yang kemlinthi justru akan membuatnya semakin besar. Memang inilah tujuan utamanya ketika berbuat begitu.
Resep ampuh untuk melawan orang yang kemlinthi ini adalah menganggap sepi perilakunya ini. Semua orang harus kompak untuk tidak memberi perhatian serius kepada perilakunya. Maka sama seperti katak kintel ini, lama-lama dia akan mengempis dan menghilang dengan diam-diam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun