Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Antonio Blanco & Monkey Forrest

26 Januari 2010   17:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tujuan wisata yang saya kunjungi ini sudah memiliki reputasi internasional. Pertama, museum milik maestro lukis Don Antonio Blanco. Kedua, hutan suci yang menjadi lokasi shooting "Eat, Pray, Love" yang dibintangi oleh Julia Roberts. [caption id="attachment_61831" align="alignleft" width="300" caption="Gerbang Museum"][/caption] Museum renaisans Don Antonio Blanco dibangun di atas bukit Kampuhan yang masih asri. Kedatangan kami langsung disambut oleh kicauan burung jalak bali dan kakatua. Pada tebing sebelah kanan pintu masuk tampak menjulang menara pagoda 12 atap. Untuk masuk ke museum, wisatawan domestik harus merogoh kocek Rp. 30.000,-/orang.  Sedangkan untuk wisatawan manca, dikenai tarif lebih mahal, yaitu Rp. 50.000,- Dari tempat pembayaran tiket, kami mendaki tangga menuju sebuah halaman kecil, yang di tengahnya terdapat kolam kecil dan patung Siwa di bagian tengahnya. Pada bagian kiri, terdapat balai sederhana sebagai bengkel kerja pembuatan pigura lukisan. Lalu kami memasuki pintu berbentuk lingkaran, seperti yang biasa kita jumpai pada rumah-rumah China kuno. Berbelok kiri kami disambut halaman rumput yang luas. Pada bagian tengah terdapat kolam air.  Menatap lurus, kami melihat kediaman pribadi Antonio Blanco yang cukup megah. [caption id="attachment_61838" align="alignright" width="178" caption="Pagoda 12 Atap"][/caption] Siapakah Antonio Blanco? Dia adalah seniman lukis ternama kelahiran Catalonia, Spanyol pada tanggal 15 September 1911. Setelah menyelesaikan studinya di Akademi Seni Nasional di New York, Blanco berkelana ke seluruh dunia, hingga akhirnya terpikat oleh keindahan Bali dan memutuskan menetap di sana, pada tahun 1952. Raja Ubud menghadiahkan kepadanya tanah seluas 2 hektar yang berlokasi di pertemuan dua aliran yang membentuk sungai Kampuhan. Seniman flamboyan dan eksentrik ini kemudian memperistri Ni Rondji, seorang penari kenamaan di Bali. Mereka dikaruniai empat anak-anak, masing-masing Tjempaka, Mario, Orchid dan Mahadewi. Pelukis yang dijuluki "Dali dari Bali" ini sangat mengagumi tubuh wanita yang menurutnya merupakan ciptaan Tuhan yang paling indah.  Maka tak heran jika hampir seluruh karya seniman yang gemar bertopi kabaret ini menampilkan sosok perempuan bertelanjang dada, khususnya perempuan Bali. Sebelum memasuki bangunan utama, pengunjung akan melewati sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari marmer. Diamati secara sepintas, bentuknya memang aneh.  Namun ternyata gerbang ini merupakan tiruan dari tanda tangan sang Maestro. Konon ini adalah tanda tangan terbesar di dunia. Bangunan museum merupakan gabungan antara arsitektur barat dan Bali. Tembok-tembok berupa batu marmer kokoh, yang diimbangi dengan kelembutan ornamen Bali di sekeliling pintu, jendela dan atapnya. Ruang utama museum mirip dengan ballroom luas dengan atap yang sangat tinggi. Di sebelah kanan dan kiri ruangan terdapat tangga untuk ke ruang atas. Lukisan-lukisan maha karya sang maestro ditempelkan pada dinding-dinding ruangan. Pencahayaan ruangan agak remang-remang. Hanya ada lampu-lampu kecil yang menerangi setiap lukisan. Sayangnya pengunjung dilarang untuk mengambil gambar dengan kamera.  Suatu kali, ketika petugas tidak terlihat, saya menghidupkan kamera video dan mencoba mengambil gambar dengan sembunyi-sembunyi. "Mumpung tidak ada petugas," pikir saya ketika itu. Akan tetapi Citra, adik sepupu isteriku, tiba-tiba memperingatkan aku."Mas, ada kamera pengawas lho," bisiknya sambil menunjukan kamera di langit-langit ruangan. Saya pun buru-buru mematikan kamera sambil tertawa sendirian. Idealnya, mengunjungi museum lukisan tidak dilakukan tergesa-gesa. Kita harus meluangkan waktu untuk menikmati setiap detil goresan sang seniman. Tapi apa boleh buat, objek wisata berikutnya masih menanti. Selepas ruang utama, kami masuk ke ruang kerja Blanco.  Sebuah ruangan yang sederhana dengan jendela luas yang mengarah langsung ke halaman.  Di sebelah bengkel kerjanya, terdapat ranjang besar dengan kelambu putih. Jika letih berkarya, Blanco akan merebahkan badannya sejenak di tempat tidur ini sambil merenung untuk menangkap inspirasi. [caption id="attachment_61827" align="alignleft" width="300" caption="Bengkel Kerja"][/caption] Di sini, setiap pengunjung disodori segelas mocca dingin yang bisa dinikmati sambil bercengkerama dengan burung-burung kakatua. Jika berani, pengunjung bisa berfoto dengan burung-burung itu. Sebagai souvenir, pengunjung bisa membeli foto lukisan Antonio Blanco yang ditandatangani asli oleh Mario Blanco, anak laki-lakinya. Menjelang pintu keluar, terdapat toko souvenir yang menjual kerajinan perak yang didesain oleh anak perempuan Blanco.

***

Berseberangan dengan museum Antonio Blanco terletak hutan suci yang banyak dihuni oleh kera. Warga setempat menyebutnya Wana Wanara, tapi kemudian lebih terkenal dengan nama Monkey Forrest. Kami harus mengambil jalan memutar dulu, melewati pasar Ubud dan jalan Hanoman karena jalan di Ubud ini adalah jalan satu arah. [caption id="attachment_61833" align="alignright" width="205" caption="Kera Monkey Forrest"][/caption] Sekitar sepuluh menit perjalanan dengan mobil, kami sampai di pelataran parkirnya. Untuk masuk, kami harus membayar tiket senilai Rp. 15 ribu per orang.  Di pintu masuk, ada beberapa penjual rambutan, pisang dan kacang yang menawarkan dagangannya. Ini bukan untuk dimakan wisatawan, melainkan untuk diberikan kepada para kera. Jika Anda tidak punya cukup nyali menghadapi para kera, sebaiknya Anda tidak membeli dan membawa buah-buahan ini ke dalam hutan. Seperti yang saya saksikan sendiri, begitu tahu ada pengunjung membawa makanan, maka para kera terus-menerus menguntitnya. Jika sang pengunjung tidak segera memberikan makanan mereka, maka kera-kera itu tak segan-segan akan meloncat ke pundak pengunjung untuk merebutnya. Bahkan ketika makanan itu disembunyikan dalam tas ransel, para kera itu bisa tahu dan membukanya dengan paksa. Namun Anda tidak perlu takut. Sepanjang Anda tidak menyimpang dari jalan yang sudah dibuat dan tidak jahil, Anda tidak akan diganggu. Ada penjaga yang sewaktu-waktu siap membantu. Kera yang hidup di hutan ini adalah jenis makaka ekor panjang. Nama latinnya adalah Macaca fascicuiaris.  Mereka hidup berkelompok di dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Kera betina dilahirkan, besar dan mati di dalam kelompoknya. Sementara itu, kera jantan bisa saja meninggalkan kelompoknya untuk berpindah ke kelompok lain (biasanya pada umur 4 s/d 8 tahun). Untuk masuk ke  dalam sebuah kelompok, maka seekor kera jantan harus mendapat izin dari kera-kera betina pada kelompok tujuan. Hal ini terjadi karena kelompok kera ini menganut pola matrilineal [seturut dengan garis keturunan induk]. [caption id="attachment_61836" align="alignleft" width="225" caption="Kera Ekor Panjang"][/caption] Sampai sekarang, populasi kera pada hutan di Padangtegal ini diperkirakan sejumlah 340ekor, yang terbagi ke dalam 4 kelompok.  Mereka hidup di dalam hutan yang terdiri dari 115 jenis tumbuhan, menurut hasil penelitian Universitas Udayana, Bali. Dalam sistem kepercayaan Hindu Bali, terdapat tiga jenis pura yaitu Pura Puseh, Pura Desa, and Pura Dalem.  Pura Puseh (pura asal) biasanya berada di wilayah hulu desa, yang dipersembahkan kepada dewa Wisnu dan para leluhur desa. Dewa Wisnu dikenal sebagai dewa pemelihara kehidupan karena punya kemampuan berinkarnasi sebagao avatar (Manusia-Dewa) yang bebas melintas sorga dan bumi. Dewa ini dipercaya sering menampakkan diri untuk menyelematkan dunia. Pura Desa, terletak di tengah-tengah desa yang dipersembahkan bagi dewa Brahma. Pura ini biasa digunakan sebagai tempat pertemuan warga untuk membicarakan berbagai persoalan desa. Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa pencipta, yang menjadi sumber semangat bagi umat Hindu dalam berkarya secara kreatif. Pura Dalem atau pura kematian berada di bagian hilir atau bawah desa. Pura ini dipersembahkan kepada dewa Siwa sebagai dewa penghancur. Biasanya terdapat kuburan di pura ini. Dewa Siwa akan menentukan reinkarnasi seseorang berdasarkan karmanya semasa hidupnya. Dalam kaitan ini, wanara wana atau The Sacred Monkey ini berada di wilayah Pura Dalem. Bangunan pura berada di dekat sungai. Untuk mencapai ke sana, pengunjung harus menuruni bukit dengan menapaki tangga demi tangga. Sepanjang perjalanan, kita dapat menyaksikan tingkah polah kera: berayun-ayun, berkelahi, mencari kutu, dan memikat pasangan. Sesampai di bawah,  kita dapat melihat sebuah kolam petirtaan berair jernih di bawah pohon besar yang rindang. Pada samping kolam, terdapat tiga patung batu. Pada bagian tengah, terletak patung ganesa [tubuh manusia berkepala gajah], yang mengeluarkan air dari belalainya. Umat Hindu mempercayai Ganesha sebagai dewa ilmu pengetahuan. Air yang keluar dari belalainya melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang berasal dari dewa ini. Dewa ini diapit oleh dua patung perempuan bertelanjang dada yang memegang tempayan. Air mengalir melalui tempayan. Di belakang petirtaan, terdapat sebuah pura yang dijaga oleh dua patung dwarapala. [caption id="attachment_61829" align="aligncenter" width="300" caption="Patung ganesa"][/caption] Hutan yang terus dijaga kelestariannya ini memang indah. Maka tak heran jika tempat ini menjadi salah satu tempat shooting untuk film "Eat, Pray, Love" yang dibintangi oleh Julia Roberts. Tulisan ini merupakan seri dari catatan perjalanan saya ke Bali tanggal 7-11 Januari 2010. Untuk tulisan yang lainnya, silakan klik:

Untuk melihat video klip saya, silakan klik link berikut ini:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun