Analisis seorang kader;Info dariIr. Hb. Nabiel Al-Musawa MSi. sebagian isi dari :Sumber: http://m.dakwatuna.com/2013/04/30/32397/ kuatnya-tekanan-asing-atas-impor-daging-indonesia/#ixzz2SN6FxYL8
Mengawali kuartal pertama tahun 2013 ini, ekonomi pertanian Indonesia mengalami turbulensi yang cukup menekan. Kelangkaan bahan pangan seperti: daging sapi, bawang, dan disusul dengan cabai, menyebabkan harganya melonjak tajam. Tingginya harga membuat konsumen di tingkat rumah tangga enggan membeli daging sapi dan memilih mengkonsumsi daging ayam, ikan, atau tempe dan mengurangi konsumsi bawang dan cabai. Padahal tingkat rata-rata per kapita konsumsi daging sapi Indonesia paling rendah di Asia Tenggara: cuma 2 kilogram per tahun. Akibatnya, pasar lesu dan pedagang pun buntung.
Sumber dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012; Produksi daging sapi di tahun 2012 sebanyak 84.74 ribu ton (17,51%) berasal dari impor dan 399,32 (82,49%) produk lokal.Proporsi daging impor tersebut terdiri atas daging beku 33,97 ribu ton (40%) dan sapi bakalan sebanyak 50,83 ribu ton – 60% (setara dengan 282,596 ekor) yang akan diperoleh hasilnya di 2 tahun akan datang. (http://soeharto.co/reformasi-era-ketergantungan-daging-impor). Jumlah ini menurun dari 2011 yang mencapai 122,4 ribu ton. Jumlah impor daging sapi dari Amerika juga menurun, dikarenakan pemerintah Indonesia menurunkan impor daging sapi dari Amerika pada April 2012 setelah merebaknya kasus sapi gila di California, Amerika Serikat.
Persoalan impor daging sapi dan sapi bakalan sangat erat terkait dengan kepentingan Australia sebagai sekutu dekat Amerika. Sebab, nyaris 100 persen impor sapi berasal dari sana. Indonesia seakan sudah cinta mati dengan sapi asal Negeri Kanguru itu. Kebiasaan lama mengimpor sapi dari Australia kerap dituding telah menghambat upaya budidaya sapi di dalam negeri.
Ketergantungan akut kepada Australia dalam soal sapi ini tak ayal kerap berdampak buruk. Tahun lalu, Australia memblokade ekspor sapi ke Indonesia. Sebabnya, sebuah video menayangkan kebiadaban di rumah jagal Indonesia. Banyak orang menilai Australia sedang melancarkan perang dagang. Mereka konon kecewa dengan kebijakan swasembada sapi Indonesia.
Tapi Canberra salah kalkulasi. Blokade malah lebih menyakitkan kalangan peternak sapi Australia. Dalam hitungan bulan, setidaknya 274.000 sapi di seputaran Darwin terlantar dan saat yang sama, nilai ekspor terpangkas separuh dari awalnya US$ 300 juta per tahun. Indonesia membalas blokade dengan memangkas kuota impor. Australia jadi pecundang. Canberra mencabut sendiri blokade. Apalagi DPR kemudian mengisyaratkan akan menutup total impor sapi dari Australia dan menggantikannya dengan impor dari India dan Brazil.
Mencari alternatif sapi impor dari negara lain, seperti India dan Brazil, sebenarnya sudah lama dilakukan. Tapi sayang, sejumlah kalangan mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan. Mereka menggugat aturan yang membolehkan impor sapi berdasarkan zona dan berhasil. Akibatnya, Indonesia tak punya celah mengimpor sapi dari negara selain Australia. Sebab, impor harus berdasarkan negara sedangkan India dan Brazil belum mendapatkan status bebas penyakit kuku dan mulut meskipun beberapa zona di kedua negara itu sudah bebas dari penyakit tersebut.
Perhitungan diatas kertas.. hasil survey tahun 2011, populasi sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Jika konsumsi daging sapi 2 kilogram per kapita dan sekitar 200 kilogram daging per sapi yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia membutuhkan hanya sekitar 400.000 ekor per tahun. Artinya, bukankah Indonesia bisa mencukupi kebutuhan daging sapi sendiri alias sudah swasembada?
Fakta di lapangan, tidak semua populasi sapi itu berupa stok aktif sapi potong. Itu karena sekitar 4,6 juta peternak lokal menyimpan sekitar 2-3 ekor sebagai investasi. Sapi-sapi yang ada saat ini masih dimiliki oleh masyarakat, bukan dimiliki secara industri, artinya masyarakat baru menjual ternaknya jika ada kebutuhan mendesak, hal inilah yang ditengarai menjadi salah satu sebab sedikitnya pasokan daging sapi lokal ke pasar nasional di tengah terus bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat.
Masalah lainnya adalah tersebarnya sentra-sentra peternakan sapi di Indonesia yang membutuhkan biaya ekstra untuk mengumpulkan mendistribusikannya. Syukurlah Kementerian BUMN yang dikomandani pak Dahlan Iskan mendukung penyedian kereta api untuk ternak dan transportasi daging beku melalui pesawat terbang. Program sarjana masuk desa (SMD) yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian juga turut serta dalam distribusi dan ketersediaan hasil. Program SMD sendiri difokuskan ke pasar Jakarta dan Kota di Jawa dikarenakan ketersedian ternak didaerah tersebut masih sangat rendah.
Kementerian BUMN juga mengintruksikan kepada semua perusahaan perkebunan sawit milik BUMN untuk memelihara sapi. Agar bisa membantu kecukupan daging di dalam negeri. Target awal: memelihara 100.000 ekor sapi di seluruh perkebunan kelapa sawit BUMN. Jumlah itu, meski kelihatan ambisius, tapi masih terlalu kecil untuk bisa menutupi kekurangan daging dalam negeri. Karena itu kalau saja target 100.000 ekor itu berhasil, jumlahnya akan terus ditingkatan (dahlan Iskan, http://www.antaranews.com/berita/346510/setelah-persoalan-makanan-yang-mahal-dipecahkan) . Ternyata tidak mudah mendapatkan bibit sampai 100.000 ekor. Semula ada asumsi bahwa kita kekurangan daging lantaran peternak kurang bersemangat memelihara sapi. Penyebabnya: makanan ternak terlalu mahal sehingga hasil penjualan sapi habis untuk membeli makanan ternak.
Lokasi perkebunan sawit yang lokasinya banyak di Sumatera harus didukung dengan percepatan dan program kementerian pertanian dengan meningkatkan SMD atau program industrisasi peternakan di sana. Program IB (Imunisasi Buatan) dan pengadaan bakalan sapi impor akan lebih baik dilakukan secara sinergis dengan pihak BUMN.
Kebijakan Menteri Pertanian Suswono yang mengatakan bahwa meskipun Indonesia akan memangkas kuota impor daging sapi hingga 32.000 ton pada 2013, impor sapi bakalan malah bakal meningkat menjadi 288.000 ekor. Sebagai informasi Indonesia berhasil memangkas impor sapi bakalan dari sekitar 400.000 ekor (2011) hingga 282.596 ekor. Akan lebih baik alokasi bakalan yang diimpor diberikan dilokasi BUMN.
Mungkin program swasembada sapi pada 2014 tidak akan tercapai. Swasembada yang dimaksud adalah kemampuan penyediaan dalam negeri sebesar 90-95%, sementara sisanya (5-10%) dapat
dipenuhi dari importasi. Akan tetapi arah ke swasembada dan kemandirian pangan dapat dicapai dengan syarat-syarat ini terpenuhi pada prinsip : (i) Keberlanjutan (Sustainable) ; (ii) Sumberdaya domestik; (iii) Pemberdayaan petemakan rakyat ; (iv) Aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dan (v) Keterkaitan antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota, masyarakat
dan swasta ; (vi) Prinsip perdagangan internasional yang free dan fair, serta (vii) Membuka peluang ekspor..
Pihak Australia/Luar juga harus diberikan penekanan bahwa peran australia dalam mendukung ketersediaan pangan khususnya daging sapi tetap diperlukan. Saat ini pengadaan bakalan sapi menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan mungkin dengan meningkatkan kebutuhan akan daging sapi di masyarakat baik industry dan konsumsi akan mendorong peningkatan impor dimasa mendatang. Apalagi kebijakan pemerintah juga akan berubah di tahun 2014. Semoga swasembada sapi yang akan diraih dapat terlaksana dengan baik dikarenakan ditahun ini saja kita sudah bersusah payah untuk membatasi makan daging sapi.
Sebagai penutup ; untuk mewujudkan tekad swasembada sapi pada 2014, pakar pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyarankan agar Pemerintah melakukan langkah-langkah berikut.
Pertama, penyediaan sapi bakalan dari dalam negeri lewat pengembangan breeding farm secara sistematis dengan landasan akademik memadai. Kemampuan teknis para pemulia ternak dan praktisi peternakan di dalam negeri sudah sangat mumpuni. Pemerintah hanya perlu memberi dukungan penuh bagi peternak dalam negeri, termasuk skala kecil dan menengah, dengan menyediakan akses permodalan dan pembiayaan bagi peternak yang mampu melakukan pembibitan. Penyediaan program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) saja tidak cukup. Perlu pendampingan spartan dan pengawalan di tingkat lapangan.
Kedua, Pemerintah perlu mendorong sektor perbankan agar serius dalam melaksanakan penyaluran KUPS. Di sini diperlukan kerja sama lebih erat dengan petugas teknis peternakan, saling memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Di tingkat politis, anggota DPR bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementerian Pertanian wajib mencari titik temu pembahasan skema pembiayaan dan asuransi pertanian dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Ketiga, Pemerintah harus meningkatkan produktivitas dan memperbaiki reproduktivitas ternak sapi lokal, dengan dukungan bimbingan teknis dan ekonomis kepada peternak, serta pemberian insentif dan fasilitasi ekonomi yang memadai kepada mereka. Apabila BUMN secara serius berminat melakukan usaha penggemukan sapi, melalui integrasi dengan kebun sawit, misalnya, hal itu perlu melibatkan kaum profesional peternakan yang telah teruji keandalannya.
Sumber :http://soeharto.co/reformasi-era-ketergantungan-daging-impor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H