Mohon tunggu...
Agustina Purnami Setiawi
Agustina Purnami Setiawi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/Universitas Stella Maris Sumba

Saya seorang Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA). Saya seorang praktisi di bidang pendididkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekolah atau Penjara? Realitas Suram Kualitas Belajar Siswa di NTT

26 November 2024   11:20 Diperbarui: 26 November 2024   11:23 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan merupakan hak dasar setiap anak, namun di Nusa Tenggara Timur (NTT), kualitas pendidikan masih berada dalam kondisi yang jauh dari memadai. Pertanyaan mencuat: apakah sekolah di NTT benar-benar menjadi tempat belajar yang membebaskan anak-anak dari ketidaktahuan, atau justru menyerupai "penjara" yang menahan potensi mereka tanpa harapan?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka rata-rata lama sekolah di NTT pada 2022 hanya 8,11 tahun, yang berarti banyak siswa tidak menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA. Selain itu, laporan Kemendikbudristek (2023) mencatat bahwa sebanyak 41% sekolah di NTT masih kekurangan guru yang kompeten, sementara 30% sekolah tidak memiliki fasilitas belajar memadai seperti perpustakaan atau ruang kelas layak.

Faktor ekonomi juga menjadi penghalang besar. Menurut UNICEF Indonesia (2021), kemiskinan membuat banyak anak terpaksa bekerja membantu keluarga, sehingga sulit untuk fokus pada pendidikan. Di beberapa wilayah pedesaan, perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu hingga dua jam jalan kaki. Situasi ini membuat sekolah bagi sebagian siswa terasa seperti beban tanpa jalan keluar, tempat mereka belajar di tengah tekanan hidup yang berat.

Kenyataan ini memunculkan tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang memberi harapan, bukan menjadi "penjara" yang memadamkan mimpi generasi muda di NTT.

Kondisi pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) menggambarkan ketimpangan yang mendalam dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Minimnya fasilitas menjadi salah satu masalah utama. Berdasarkan data dari Kemendikbudristek (2023), sekitar 35% sekolah di NTT memiliki infrastruktur yang buruk, seperti atap bocor, bangku yang rusak, serta kekurangan ruang kelas yang layak. Selain itu, rasio siswa per guru di NTT sangat tinggi, mencapai 1:24, sementara rata-rata nasional hanya 1:16. Pelatihan bagi tenaga pengajar juga minim, menyebabkan banyak guru kesulitan menerapkan metode pengajaran yang efektif.

Akses ke pendidikan pun menjadi tantangan besar. Di wilayah pedesaan, banyak siswa harus menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer dengan berjalan kaki akibat terbatasnya transportasi. UNICEF Indonesia (2021) melaporkan bahwa kondisi ini membuat tingkat putus sekolah di NTT lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

Di sisi lain, siswa juga menghadapi tekanan psikologis. Kurikulum yang terlalu berat namun tidak relevan dengan kebutuhan lokal membuat motivasi belajar menurun. Ditambah lagi, keterbatasan buku, laboratorium, serta teknologi pendidikan semakin memperburuk pengalaman belajar mereka.

Kemiskinan juga menjadi penghalang signifikan. Menurut laporan BPS (2022), 20,47% penduduk NTT hidup di bawah garis kemiskinan, memaksa banyak anak untuk memilih bekerja demi membantu keluarga daripada melanjutkan pendidikan.

Bagi para guru di Nusa Tenggara Timur (NTT), tantangan dalam menjalankan tugas mereka tidak hanya soal mengajar, tetapi juga bertahan dalam kondisi yang serba terbatas. Kurangnya dukungan pemerintah terhadap pelatihan profesional membuat banyak guru tidak memiliki kompetensi untuk mengatasi tantangan pendidikan di wilayah terpencil. Berdasarkan data Kemendikbudristek (2023), lebih dari 45% guru di NTT belum mengikuti pelatihan pengembangan profesional dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, rendahnya gaji guru, terutama yang berstatus honorer, sering kali memaksa mereka untuk mencari penghasilan tambahan, sehingga fokus terhadap pengajaran pun terganggu.

Selain tekanan pada guru, sistem pendidikan di NTT kerap diibaratkan seperti penjara bagi siswa. Dalam lingkungan pendidikan yang minim fasilitas dan penuh keterbatasan, siswa terjebak dalam sistem yang tidak memberikan ruang untuk bermimpi atau berkembang. Laporan UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa 35% siswa di NTT merasa terbebani oleh kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Mereka menjalani pendidikan tanpa tujuan yang jelas, karena sistem gagal memberikan akses pada potensi penuh mereka.

Ketika sekolah hanya menjadi tempat untuk "menghafal dan lulus," bukan ruang untuk mengembangkan kreativitas dan berpikir kritis, maka pendidikan kehilangan maknanya. Jika tidak ada intervensi nyata, sekolah di NTT hanya akan menjadi "penjara" bagi masa depan generasi muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun