Saat menonton tayangan ulang diskusi mengenai vaksin, kata “VVM” (diucapkan “vi vi em”) disebut oleh salah satu narasumber. Kata ini baru pertama kali saya dengar. Entah mengapa otak saya malah menghubungkannya dengan “ppm” (diucapkan “pi pi em”, singkatan dari parts per million), satuan untuk menyatakan konsentrasi zat terlarut dalam jumlah kecil.
Selidik punya selidik, ternyata VVM tak ada kaitannya dengan ppm. VVM, singkatan dari Vaccine Vial Monitor, merupakan label indikator yang terdapat pada kemasan vaksin. Indikator ini berbentuk lingkaran dengan persegi di bagian tengahnya. Diameter lingkaran minimal 7 mm. Sedangkan ukuran persegi minimal 2 x 2 mm. Warna persegi lebih terang dari warna lingkaran di luar persegi.
Vaksin merupakan produk biologis yang sensitif terhadap panas. Beberapa jenis vaksin sensitif terhadap cahaya, beberapa dapat rusak akibat pembekuan. Semakin tinggi suhu saat vaksin terpapar, maka vaksin semakin cepat rusak. Karena itu untuk menjaga kualitas, kondisi vaksin harus dipertahankan pada suhu optimal yang relatif rendah, mulai dari produksi hingga saat hendak digunakan untuk imunisasi. Proses untuk mempertahankan kondisi ini disebut cold chain (rantai dingin).
Sayangnya, masih terdapat kendala pada rantai dingin ini, terutama bila imunisasi dilakukan di daerah yang sulit terjangkau. Fasilitas penyimpanan vaksin pada sarana kesehatan terkadang tidak dapat memenuhi rantai dingin. Di daerah tertentu, tenaga kesehatan dapat membawa vaksin menggunakan truk, sepeda motor, perahu, bahkan tidak jarang yang berjalan kaki. Hal ini berisiko terhadap kerusakan vaksin akibat akumulasi paparan panas.
Secara visual sangat sulit untuk mengetahui vaksin yang rusak akibat terpapar panas. Karena itu, di masa lalu, saat ada dugaan vaksin terpapar panas, maka diputuskan vaksin tidak dapat digunakan. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah vaksin yang terbuang. Sulitnya mengetahui kerusakan vaksin akibat terpapar panas juga membuka peluang penggunaan vaksin yang rusak dalam imunisasi. Hal ini menyebabkan seseorang tidak mendapat perlindungan yang seharusnya diperoleh dari imunisasi.
Karena itu, WHO memandang perlu untuk mengembangkan suatu indikator yang dapat menunjukkan paparan panas pada vaksin. WHO bekerja sama dengan beberapa lembaga dan mulai mengembangkan VVM sejak tahun 1979 hingga akhirnya ditemukan VVM, indikator berbentuk lingkaran dengan persegi di tengahnya. Teknologi pada VVM mengadopsi teknologi yang digunakan industri makanan untuk memantau kerusakan produk.
Pada tahun 1990 dilakukan uji coba penggunaan VVM di delapan negara termasuk Indonesia. Tahun 1996, VVM mulai dipasarkan untuk vaksin polio oral (oral = diberikan lewat mulut), vaksin yang paling sensitif terhadap panas. Produsen vaksin di Indonesia, PT Bio Farma, mulai mengunakan VVM untuk vaksin polio oral pada tahun 1999.
Cara Membaca VVM
Bagian persegi pada VVM terbuat dari bahan yang sensitif terhadap panas. Saat mendapatkan paparan panas pada jangka waktu tertentu, bagian persegi akan berubah warna menjadi lebih gelap. Perubahan warna ini bersifat ireversibel. Semakin rendah suhu saat vaksin terpapar panas, maka perubahan warna berlangsung semakin lambat. Semakin tinggi suhu, maka perubahan warna berlangsung semakin cepat.