Pebulutangkis tunggal putera nomor satu dunia, Lee Chong Wei, menjadi sorotan. Pasalnya hasil tes doping, yang dilakukan pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis, Agustus lalu, dinyatakan positif.
Tes doping dapat dilakukan pada saat turnamen olahraga digelar (in-competition testing) maupun di luar gelaran turnamen olahraga (out-of-competition testing). Atlet dipilih secara acak untuk melakukan tes ini. Atlet diberi kebebasan untuk memilih sendiri wadah dan alat lainnya untuk menampung sampel berupa urin atau darah. Bahkan atlet dapat mengontrol proses sampai wadah sampel disegel.
Sampel yang dikumpulkan dibagi menjadi menjadi dua: sampel A dan sampel B, di mana volume sampel A lebih banyak dibandingkan sampel B. Sampel A inilah yang dianalisis untuk mengetahui kandungan zat doping. Bila sampel A dinyatakan positif, maka sebagai konfirmasi, dilakukan analisis sampel B terhadap kandungan zat doping pada sampel A.
Pada kasus yang dialami Lee Chong Wei, hasil tes urin sampel A dan sampel B dinyatakan positif mengandung dexamethasone. Di dunia medis, dexamethasone bukanlah obat terlarang. WHO bahkan memasukkan salah satu ‘anggota’ glukokortikoid ini ke dalam daftar obat esensial. Dexamethasone digunakan sebagai antiinflamasi, antialergi, dan untuk penyakit-penyakit atau keadaan yang membutuhkan terapi dengan obat tersebut. Dalam terapi asma, dexamethasone merupakan salah satu obat lini pertama untuk mencegah kambuhnya asma.
Dexamethasone Sebagai Zat Doping
Doping merupakan aktivitas ilegal untuk meningkatkan performa. Badan anti-doping dunia, World Anti-Doping Agency (WADA), mendefinisikan doping sebagai pelanggaran satu atau lebih aturan anti-doping yang ditetapkan dalam World Anti-Doping Code. Salah satu pelanggaran aturan yang dimaksud adalah adanya zat terlarang atau metabolitnya atau marker (penanda) dalam sampel atlet.
Zat atau metode yang dilarang digunakan untuk doping dituangkan dalam daftar yang disebut Prohibited List. WADA memasukkan zat atau metode ke dalam Prohibited List bila memenuhi dua dari tiga kriteria: zat atau metode berpotensi meningkatkan atau meningkatkan performa olahraga, zat atau metode menunjukkan risiko kesehatan aktual atau potensial bagi atlet, penggunaan zat atau metode melanggar semangat olahraga (nilai-nilai dalam olahraga). Zat atau metode dalam Prohibited List tidak mutlak dilarang dan masih dapat digunakan dalam pengobatan atlet, sesuai ketentuan Therapeutic Use Exemption yang ditetapkan WADA.
WADA menggolongkan zat atau metode tergolong doping ke dalam empat kelompok. Pertama, zat dan metode yang dilarang digunakan sepanjang waktu (in- and out-of-competition), misalnya anabolik, agonis beta-2, diuretik. Kedua, zat dan metode yang dilarang digunakan pada saat turnamen olahraga digelar (in-competition), misalnya stimulan, narkotik, kanabinoid, glukokortikoid. Ketiga, zat yang dilarang digunakan dalam olahraga tertentu, misalnya alkohol, betabloker. Keempat, zat tertentu. Dexamethasone dengan rute pemberian oral, rektal, intravena, maupun intramuskular, termasuk dalam kelompok kedua.
Glukokortikoid mampu mempercepat lipolisis (pemecahan lemak). Percepatan lipolisis ini mengakibatkan peningkatan jumlah asam lemak bebas dalam plasma. Peningkatan asam lemak ini menyebabkan tubuh lebih banyak menggunakan asam lemak sebagai sumber energi, sehingga terjadi penghematan glikogen. Dengan demikian penggunaan energi selama melakukan pergerakan tubuh menjadi efisien dan tubuh tidak cepat lelah.
Dosis besar glukokortikoid memberikan efek analgesik (antinyeri). Efek antiinflamasi dan analgesik glukokortikoid mampu menghambat sensasi nyeri otot. Sensasi nyeri sebenarnya merupakan salah satu bentuk perlindungan dan diperlukan sebagai peringatan akan adanya gangguan dalam tubuh. Dalam kondisi tertentu, di mana sensasi nyeri sangat mengganggu, maka antinyeri diperlukan, misalnya pada nyeri pasca operasi. Namun, penggunaan antinyeri sebagai ‘trik menipu’ tubuh agar dapat terus beraksi dalam kompetisi, tidaklah tepat. Dengan ‘hilangnya’ sensasi nyeri, tubuh yang terganggu ‘dipaksa’ untuk terus beraksi. Hal ini justeru memperparah gangguan yang terjadi.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang berisiko bagi kesehatan karena dapat menyebabkan osteoporosis, resistensi insulin (kondisi di mana tubuh membutuhkan insulin lebih dari normal untuk mengontrol gula darah), hipertensi, aterosklerosis, rentan terkena infeksi karena efek imunosupresannya, tukak lambung, kelemahan otot, kelainan mata.
Keberadaan glukokortikoid dalam Prohibited List pernah menimbulkan pro kontra. Federasi olahraga tertentu mengusulkan agar zat tersebut dikeluarkan dari Prohibited List karena digunakan secara luas dalam pengobatan di dunia olahraga dan dianggap tidak meningkatkan performa. Namun, mempertimbangkan risiko kesehatan yang ditimbulkan, serta didukung dengan hasil penelitian bahwa golongan tersebut dapat meningkatkan performa, pihak lain berpendapat golongan tersebut harus dipertahankan sebagai ‘anggota’ Prohibited List.