Sosok laki – laki yang tepat duduk disebelahku adalah sahabatku, sahabat masa kecilku, laki – laki yang dulu terlihat kumal, kini tampak lebih rapih, dan berwibawa dengan pakaian toganya. Tak pernah terlintas dalam pikiranku dia akan menjadi seorang yang berprestasi meski keadaan keluarga yang kurang mencukupi tetapi semangat dia untuk mencapai pendidikan yang tinggi menghantarkan dia pada imipiannya.
Anganku melayang mengingat masa dimana aku tahu siapa bayu saat masih kecil, remaja hingga saat ini. Tak pernah berubah hanya penampilan dan kedewesaannya yang merubah dia sekarang. Aku pun mulai mengenang saat aku mengetahui dari mana bayu membiayai pendidikannya semasa itu.
Siang itu, matahari memancarkan sinar teriknya, seakan membakar kulitaku yang mulus, tapi tidak dengan anak laki – laki kelas tiga SMP, bayu sahabatku berlari menuju gerbang sekolah dan bergegas pulang. Tak biasanya Bayu terburu – buru seperti itu.
“Bayu................” teriak ku memanggil bayu
Bayu pun berhenti, “Ada apa?aku harus cepat – cepat pulang ”, tegas bayu
“kenapa sih tumben banget kamu mau pulang cepet – cepet, mau bantuin ibu kamu jualan ya? Tapi biasanya juga kamu tidak seperti ini, kamu kan biasanya bantuin ibu kamu sore kok jam satu siang udah mau pulang aja sih?”
“Aku ada urusan Mel, aku pulang duluan ya..” Bayu pun pergi meningalkan Mela dan terus melangkahkan kaki menuju arah tujuannya.
Keesokan harinya ku mencoba untuk menanyakan hal itu lagi, tapi jawaban bayu tetap sama.
“Bayu kemaren pulang sekolah kamu kemana sih? Ada tempat mainan baru ya? Kok nggak ngajak – ngajak sih?” Celotehan anak kelas 3 SMP yang bawel.
“Nggak ko Mel,, kan aku bilang aku ingin membantu ibuku.” Jawab Bayu dengan sedikit ragu.
Awalnya aku percaya dengan ucapannya, tapi rasa ingin tahuku begitu kuat dibandingkan rasa egoku. Setelah beberapa hari, Bayu masih bersikap seperti itu, timbul banyak pertanyaan dibenakku “sebenarnya apa yang Bayu lakukan sepulang sekolah beberapa hari ini? Terburu – buru? Seoalah ada sesuatu hal yang tak ingin ia lewatkan”.
Akhirnya Aku memutuskan untuk pergi mengikuti bayu,sepulang sekolah. Sesampainya dipersimpangan jalan aku kehilangan jejak Bayu, mataku mencari dimana sosok anak laki – laki yang selalu riang itu. Tak jauh dari sebuah ruko di seberang jalan, mataku terhenti melihat sosok remaja yang keluar dari toilet umum, dengan penampilan yanng kumal, kotor dan berantakan,dia menuju lampu merah dipersimpangan jalan, saat lampu merah menyaladia turun ke jalan dan bernyayi, “aku penasaran siapa anakitu, mirip sekali dengan sahabatku Bayu.”Aku kira itu hanya orang yang mirp dengan sahabatku Bayu. tapi ternyata dia memang benar sahabatku Bayu. Aku sontak kaget melihatnya, Bayu yang pintar, dan selalu riang tak peduli dengan kondisi keluarganya, turun dijalanan bekerja sebagai “Pengamen”.
“Bayu......” panggilku.
Bayu kaget saat melihatku, dia coba untuk berlari menghindar dariku tapi ...
“Aduh....” Bayu jatuh tersandung batu yang didepannya
“Hai bayu,, kenapa kamu lari dan mencoba menghindar dariku? Kenapa kamu menjadi seorang pengamen, ibumu masih bisa membiayai kehidupan kamu bay, saat ini bekerja bukanlah tugasmu, tugasmu hanya belajar seperti aku ..” tegasku sambil membantu bayu berdiri.
“Aku bukan kamu Mel, orang tuaku juga berbeda dengan orang tuamu...” ucap Bayu
“Lalu kenapa kamu lakukan ini?” Aku semakin dibuatnya penasaran.
“kamu mau tahu?”
Aku mengangguk pelan saat Bayu bertanya itu.
“Setelah ayahku meninggal, Ibu membanting tulang sebagai buruh cuci dan berdagang itupun tidak cukup untuk membiayai kehidupan aku dan ibuku sehari – hari, untuk biaya sekolah sajaibu harus berhutang, kamu tahu kan biaya pendidikan sekarang semakin mahal, aku hanya inginmenabung untuk membantu ibuku agar meringankan beban ibuku untuk membayar uang sekolahku. Aku hanya ingin pendidikan yang layak Mel. Meskipun aku mendapatkan keringanan dari sekolah tetap saja banyak pungutan – pungutan yang membebankan ibuku. Apa kamu malu setelah tahu bahwa sahabatmu ini seorang pengamen jalanan yang menurut banyak orang pengamen anak berandalan yang tidak tahu etika?”
“Aku nggak malu kok punya sahabat sepertimu walau seorang pengamen kamu melakukan ini untuk sekolahmu, bukan untuk hal yang negatif malah aku bangga punya sahabat seperti kamu Bay, kamu mau melakukan apapun untuk pendidikanmu dan untuk membanggakan orangtuamu. Selamanya kita akan menjadi sahabat.” Aku dan bayu saling mengaitkan jari kelingking kita tanda persahabatan dan tersenyum menatap matahari yang tenggelam.
Bayu sahabatku yang seorang pengamen kini bisa meraih mimpi menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi demi pengorbanan ibunya. Meski keadaan kelurga yang kurang dari kata cukup bayu tetap semangat dalam belajar. Tak peduli orang mencibir dia seorang pengamen tapi dia mampu membuktikan bahwa seorang “pengamen” bisa menjadi seorang sarjana.
“Bayu Organtara kapan kita turun ke jalan untuk bernyanyi dan mengais rezeki lagi”. Canda ku saat acara wisuda selesai
“Melanie Bilqies sekarang juga boleh.” Mereka tenggelam dalam kebahagiaan yang tak akan perah terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H